Tuesday, May 21, 2013

Semakin Miskin Petani Menanam Padi 'Gabug'


                                    SEMAKIN MISKIN PETANI MENANAM PADI ’GABUG’
Oleh: Winner Indi Manega



Tatkala kita beranjak menuju daerah persawahan yang semula subur, makmur ‘loh jinawi’, kini pupus sudah harapan untuk dapat menanam padi berkualitas unggul. Bau asap gerabah yang dipergunakan untuk membakar bata merah menyengat sepanjang hari, seolah menempel baju, kemanapun kita pergi terasa bau asap akan tetap mengejar di seputar Dusun Cepoko Raya, Sitimulyo, Bantul.
Hidup sehari-hari buruh tani morat-marit dan kocar-kacir, beban hidupnya makin berat, hak-haknya terampas bahkan dikatakan tidak ada sama sekali! Kenapa petani tidak juga menggarap lahan pertanian secara benar? Petani dicengkeram kapitalisme yang menghisap habis seluruh kekayaan dan kekuatannya. Makin hari makin berat beban hidupnya. Mereka tak kuasa memenuhi kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, sementara penghasilan tak menentu dan jauh dari mencukupi.
Kegiatan pembangunan penyebab peningkatan penyalahgunaan sumber daya alam dan mineral. Kebutuhan bahan galian bagi pembangunan menjadi sangat besar, baik sebagai bahan penunjang konstruksi bangunan maupun bahan kebutuhan industri. Masyarakat sekitar apatis menyaksikan pengerukan tanah liat yang ada di lahan pertanian, konon untuk kemajuan perindustrian dan perekonomian.


Tantangan Yang Kita Hadapi
Alih fungsi lahan pertanian ke pertambangan dilakukan tanpa memikirkan apa saja yang akan terjadi di kemudian hari. Eksploitasi sumber daya alam berlebihan, jelas merusak ekosistem. Lahan pertanian yang semula subur sebagai lumbung padi, dari hari ke hari semakin terkuras dan tergadaikan oleh tuan tanah. Simak saja, petani kehilangan sawah dan buruh tani kehilangan pekerjaan. Tuan tanah semakin kaya, dengan menjal tanah liat permeter kubiknya untuk bahan baku bata merah, tanpa takut kehilangan kepemilikan sertifikat tanah. Tidak semua ‘juragan’ bata merah mengantongi ijin pertambangan. Tak kunjung juga ada wasit yang berani berteriak dan bersikap tegas!  Bahkan, pemerintah tak segera menindak, apalagi memberi solusi. 
Manakala, tanah liat subur sawah dikeruk terus-menerus hingga lubang kubangan menembus perut bumi. Akibat yang ditanggung, terjadi perubahan permukaan air tanah dan banjir serta longsor. Anomali alam seperti itu jelas akibat perilaku manusia yang cenderung serakah dan boros, baik dalam bentuk kerakusan mengeksploitasi alam maupun gaya hidup dan pola konsumsi yang tidak memperhatikan ekologi. Tanpa disadari, masyarakat yang bermukim di sekitar pertambangan sekaligus produsen bata merah, turut mengalami kerugian pada sisi perekonomian.
Seolah, kita merasa sudah mempunyai hak tinggal di bumi, sehingga dengan seenaknya memakai tanah, air dan bebatuan selama ini. Tapi gambaran seperti itu akan berubah secara drastis karena muncul alasan yang sangat komplek, krisis air, banjir, longsor, dan aliran sungai berpolusi. Kini sangat terasa gejala alam yang tidak seimbang. Ekses pemanasan global berdampak langsung pada perubahan iklim yang berpengaruh pada masa tanam, keselamatan dan pertumbuhan umat manusia. Adanya isu globalisasi dan keprihatinan kerusakan lingkungan yang telah merambah dunia, menyebabkan kita tidak dapat lagi tinggal diam mengabaikan lingkungan hidup.
Cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian mempengaruhi kinerja pertanian. Secara langsung menurunkan luas lahan untuk kegiatan produksi pangan sehingga berekses terhadap penyediaan pangan. Di sisi lain, kehilangan lahan pertanian cenderung diikuti dengan hilangnya mata pencaharian petani, yang berujung munculnya masalah perekonomian dan sosial semakin meluas. Bila fenomena ini tidak dapat dicegah, upaya mewujudkan ketahanan pangan akan menjadi mimpi dan sekedar retorika belaka.
            Petani semakin miskin, menunjukkan dilema yang kita hadapi. Untuk memperbaiki lahan pertanian yang rusak perlu dibangun hubungan antara petani dan pengusaha bata merah. Hubungan itu bersifat fisik maupun non-fisik. Tetapi kita akan menyadari apabila hubungan itu mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi pembangunan. Ini kita ketahui dan kita tekankan! Kedua, ialah fungsi eksploitasi. Ini tidak kita ketahui dan tidak kita sadari! Akibatnya fungsi ini kita abaikan. Akibat selanjutnya ialah fungsi ini tidak terkendalikan. Sesungguhnya, kita tidak dapat lagi mengabaikan lingkungan hidup. Kita harus bersikap ramah lingkungan. Barangsiapa berlaku anti lingkungan hidup akan harus membayar mahal!
Perusakan lahan pertanian yang subur, jelas bertentangan dengan pembangunan berkelanjutan yang menganjurkan usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (WCED, 1987). Sebenarnya, bekas tanah galian tersebut masih bisa digunakan sebagai tanah pertanian, dengan catatan harus melalui proses pemulihan kesuburan tanah. Akan tetapi, pemulihan ini akan membutuhkan waktu yang lama. Apabila lahan difungsikan kembali menjadi lahan pertanian sebelum dilakukan pemulihan tanah, terjadi beberapa kemungkinan. Salah satunya yaitu jeleknya kualitas tanaman yang dihasilkan.
Lahan yang rusak nekat ditanami padi, butir padi yang dihasilkan menjadi kurus, tidak berisi, dan tidak enak atau sering disebut dengan padi ‘gabug’. Turunnya kualitas produksi padi pada lahan tersebut terjadi karena hilangnya lapisan olah tanah. Hilangnya unsur yang diperlukan tanaman untuk memasak makanannya, membuat tanaman kesulitan tumbuh bahkan tak bisa menyimpan sisa hasil fotosintesis.
Adalah realita, kedalaman kubangan satu sampai dua meter masih ditanami padi dengan upaya pemupukan organik dan kimia, bahkan disemprot pupuk daun yang mahal tak akan sesuai dengan hasil panen. Kubangan lain dibuat kolam ikan atau dijual untuk perumahan. Kedalam kubangan tiga sampai delapan meter dibiarkan menganga dan digali terus ibarat membuat tebing dan jurang yang curam.
Masyarakat sekitar terlihat apatis seolah tak berdaya, apalagi menyikapi atau bertindak. Masyarakat perlu mengembangkan kemampuan untuk ikut melakukan pengawasan secara konstruktif. Sikap konstruktif ini dapat lebih mudah berkembang jika masyarakat menjadi bagian integral ekosistem. Sepatutnya, masyarakat mendapat bagian wajar dan adil dari manfaat industri bata merah dan bukan hanya menerima resiko saja. Apabila pembagian manfaat dan resikonya adil, masyarakat akan melakukan pilihan menjaga kelangsungan hidup industri bata merah atau mereklamasi lahan yang rusak menjadi lahan pertanian.
Kegiatan reklamasi lahan setelah kegiatan tambang dan industri diarahkan pada lahan pertanian pasca penambangan. Mestinya segera dilakukan kegiatan reklamasi lahan, sebagai upaya pemanfaatan, perbaikan dan peningkatan kualitas kesuburan lahan pertanian melalui penerapan teknologi dan pemberdayaan masyarakat tani (Pedoman Teknis Reklamasi Lahan, 2009). Kesepakatan rembug warga dan pemerintah menjadi titik awal tindakan reklamasi lahan. Pelaksanaannya diarahkan menggunakan kombinasi urugan sampah, diselingi urugan lapisan tanah secara bertahap untuk mengurangi bau dan sebaran kuman penyakit.
Peran serta masyarakat dalam pengawasan, terutama cendekiawan dan LSM, dapat berjalan lebih baik bila tersedia data pemantauan lingkungan hidup yang dapat diakses oleh publik. Harapannya, muncul kritik yang dapat berpindah dari opini yang tidak didasarkan pada data ilmiah ke diskusi ilmiah. Permasalahan ini dapat diatasi bila desa mempunyai kesempatan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Segenap pelaku pembangunan di desa tak hanya menerima secara pasif tindakan tidak ramah lingkungan, melainkan diberi kesempatan ikut menentukan sistem pengelolaan lingkungannya. Perlu ada demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Tetapi ini lebih mudah dikatakan dari pada dilaksanakan. Sebab demokrasi dalam pengambilan keputusan memerlukan orang yang mengetahui tentang permasalahannya. Walaupun sulit, namun bukanlah suatu kemustahilan.
Terpenting, pemerintah mengambil langkah preventif dengan melakukan kajian lingkungan hidup sebelum diambil keputusan untuk melayani keinginan masyarakat. Tujuannya untuk menghindari terjadinya eksploatasi lahan pertanian yang subur berikutnya untuk material bahan bangunan. Sebaiknya material bata merah bukan terbuat dari tanah liat subur. Ketersedian jumlah cadangan, kualitas serta nilai kegunaan ada beberapa jenis bahan galian yang mempunyai prospek untuk dikembangkan dalam upaya mendukung industri konstruksi. Pengoptimalan pemanfaatan bahan galian menjadi berkualitas, bernilai ekonomis tinggi dan strategis untuk dipasarkan dengan tetap melakukan penambangan yang berwawasan kemasyarakatan dan ramah lingkungan.
Gunakan bahan galian dari tanah tidak subur yang memang dikembangkan untuk andalan pertambangan, seperti breksi batu apung, bentonit, tras, andesit, batu serut, zeolit, dan batu kapur! Sebaran perbukitan tandus breksi batu apung cukup luas, tak hanya digunakan bahan pondasi dan dinding rumah, tapi dapat dibuat patung, meja, kursi dan roster. Kini, inovasi teknologi breksi batu apung telah sampai pada produksi genteng beton dan eternit berkualitas. Perkembangan ekologi industri malahan melangkah lebih maju, yaitu berusaha mengguna-ulang sebanyak-banyaknya bahan bangunan yang menggunakan komoditi yang telah habis masa gunanya.  
Berperilaku hidup ramah lingkungan saja tidaklah cukup, apabila tidak disertai dengan penegakan hukum dengan sanksi yang tegas dan jelas siapa yang menjadi wasit lingkungan? Generasi penerus seyogyanya pewaris kekayaan bumi pertiwi dan bertindak sebagai wasit lingkungan. Mereka harus tegas, lugas dan dapat berperilaku bijak mengelola serta memanfaatkan kekayaan sumber daya yang telah disediakan oleh alam.
Dari pemulihan dan perlindungan ini diharapkan dapat tercapai sasaran manfaat bagi masyarakat. Lain perkataan, sasaran utamanya pemulihan ekosistem bekas tambang bata merah dan manfaat yang didapatkan adalah akibat pulihnya ekosistem lahan pertanian. Tujuan ini sangat mulia dan berbeda dari pendekatan antroposentris yang menempatkan manusia pada pusatnya (Soemarwoto, 2001). Namun dari segi praktis di sini pula letak kelemahannya, yaitu kemungkinan kecil akan diimplementasikan. Pengalaman menunjukkan, bahwa manusia bersifat antroposentris. Ini dapat kita lihat dari perkembangan koordinasi yang sangat lemah.
Demi kelestarian lingkungan hidup di kawasan pertanian, sepatutnya perlu terus ditingkatkan penanganan lahan yang menurun kualitasnya dengan inovasi teknologi reklamasi, pengolahan tanah dan teknik pemupukan, sehingga dapat menambah luas areal tanam dan meningkatkan produktivitas serta pendapatan petani. Pentingnya perilaku ramah lingkungan untuk menyadarkan adanya dua fungsi dalam membangun hubungan sikap dan perilaku. Pengalaman menunjukkan bahwa fungsi kedua, yaitu fungsi eksplotasi tidak dapat diabaikan. Kita harus menyadari adanya fungsi kedua ini, mendiskusikannya dan berusaha untuk mengendalikannya.


Daftar Pustaka:
Pedoman Teknis Reklamasi Lahan 2009,  Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Direktorat Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian, Jakarta, Januari 2009
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan lingkungan Hidup. Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
World Commission on Environment and Development, 1987 Our common future, Oxford University Press, Oxford.





---Tulisan ini dibuat untuk dapat diikut-sertakan dalam lomba Essai Ilmiah Nasional 2010 yang diselenggarakan Panitia FORCES Fair UKM Forum for Scientific Institut Pertanian Bogor  bertema kegiatan “Menuju Indonesia Lebih Baik Dengan Teknologi Pertanian Berbasis Lingkungan” dan sub tema lomba “Perilaku Hidup Ramah Lingkungan”. Alhamdulillah masuk tiga puluh besar Cek http://forces.lk.ipb.ac.id/2010/11/19/peserta-lein-2010/

No comments:

Post a Comment