SEMAKIN
MISKIN PETANI MENANAM PADI ’GABUG’
Oleh: Winner Indi Manega
Tatkala kita beranjak
menuju daerah persawahan yang semula subur, makmur ‘loh jinawi’, kini pupus
sudah harapan untuk dapat menanam padi berkualitas unggul. Bau asap gerabah
yang dipergunakan untuk membakar bata merah menyengat sepanjang hari, seolah
menempel baju, kemanapun kita pergi terasa bau asap akan tetap mengejar di seputar
Dusun Cepoko Raya, Sitimulyo, Bantul.
Hidup
sehari-hari buruh tani morat-marit dan kocar-kacir, beban hidupnya makin berat,
hak-haknya terampas bahkan dikatakan tidak ada sama sekali! Kenapa petani tidak
juga menggarap lahan pertanian secara benar? Petani dicengkeram kapitalisme yang
menghisap habis seluruh kekayaan dan kekuatannya. Makin hari makin berat beban
hidupnya. Mereka tak kuasa memenuhi kebutuhan pokok yang terus merangkak naik,
sementara penghasilan tak menentu dan jauh dari mencukupi.
Kegiatan pembangunan penyebab peningkatan penyalahgunaan sumber daya
alam dan
mineral. Kebutuhan bahan galian bagi pembangunan menjadi sangat besar, baik sebagai bahan penunjang konstruksi
bangunan maupun bahan kebutuhan industri. Masyarakat
sekitar apatis menyaksikan pengerukan tanah liat yang ada di lahan pertanian,
konon untuk kemajuan perindustrian dan perekonomian.
Tantangan Yang Kita Hadapi
Alih fungsi lahan pertanian ke
pertambangan dilakukan tanpa memikirkan apa saja yang akan terjadi di kemudian
hari. Eksploitasi sumber daya alam berlebihan, jelas merusak ekosistem. Lahan
pertanian yang semula subur sebagai lumbung padi, dari hari ke hari semakin
terkuras dan tergadaikan oleh tuan tanah. Simak saja, petani kehilangan sawah
dan buruh tani kehilangan pekerjaan. Tuan tanah semakin kaya, dengan menjal
tanah liat permeter kubiknya untuk bahan baku bata merah, tanpa takut kehilangan
kepemilikan sertifikat tanah. Tidak semua ‘juragan’ bata merah mengantongi ijin
pertambangan. Tak kunjung juga ada wasit yang berani berteriak dan bersikap
tegas! Bahkan, pemerintah tak segera
menindak, apalagi memberi solusi.
Manakala, tanah liat subur sawah dikeruk
terus-menerus hingga lubang kubangan menembus perut bumi. Akibat yang
ditanggung, terjadi perubahan permukaan air tanah dan banjir serta longsor. Anomali alam seperti itu jelas akibat perilaku manusia yang
cenderung serakah dan boros, baik dalam bentuk kerakusan mengeksploitasi alam
maupun gaya hidup dan pola konsumsi yang tidak memperhatikan ekologi. Tanpa
disadari, masyarakat yang bermukim di sekitar pertambangan sekaligus produsen bata
merah, turut mengalami kerugian pada sisi perekonomian.
Seolah, kita merasa
sudah mempunyai hak tinggal di bumi, sehingga dengan seenaknya memakai tanah, air
dan bebatuan selama ini. Tapi gambaran seperti itu akan berubah secara drastis
karena muncul alasan yang sangat komplek, krisis air, banjir, longsor, dan
aliran sungai berpolusi. Kini
sangat terasa gejala alam yang tidak seimbang. Ekses pemanasan global berdampak
langsung pada perubahan iklim yang berpengaruh pada masa tanam, keselamatan dan
pertumbuhan umat manusia. Adanya isu globalisasi dan
keprihatinan kerusakan lingkungan yang telah merambah dunia, menyebabkan kita
tidak dapat lagi tinggal diam mengabaikan lingkungan hidup.
Cepatnya
konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian mempengaruhi kinerja pertanian.
Secara langsung menurunkan luas lahan untuk kegiatan produksi pangan sehingga berekses
terhadap penyediaan pangan. Di sisi lain, kehilangan lahan pertanian cenderung
diikuti dengan hilangnya mata pencaharian petani, yang berujung munculnya
masalah perekonomian dan sosial semakin meluas. Bila fenomena ini tidak dapat
dicegah, upaya mewujudkan ketahanan pangan akan menjadi mimpi dan sekedar
retorika belaka.
Petani semakin miskin, menunjukkan
dilema yang kita hadapi. Untuk memperbaiki lahan pertanian yang rusak perlu
dibangun hubungan antara petani dan pengusaha bata merah. Hubungan itu bersifat
fisik maupun non-fisik. Tetapi kita akan menyadari apabila hubungan itu
mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi pembangunan. Ini kita ketahui dan kita
tekankan! Kedua, ialah fungsi eksploitasi. Ini tidak kita ketahui dan tidak
kita sadari! Akibatnya fungsi ini kita abaikan. Akibat selanjutnya ialah fungsi
ini tidak terkendalikan. Sesungguhnya, kita tidak dapat lagi mengabaikan
lingkungan hidup. Kita harus bersikap ramah lingkungan. Barangsiapa berlaku
anti lingkungan hidup akan harus membayar mahal!
Perusakan lahan pertanian yang subur, jelas
bertentangan dengan pembangunan berkelanjutan yang menganjurkan usaha untuk
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (WCED, 1987). Sebenarnya, bekas tanah galian tersebut masih bisa
digunakan sebagai tanah pertanian, dengan catatan harus melalui proses
pemulihan kesuburan tanah. Akan tetapi, pemulihan ini akan membutuhkan waktu
yang lama. Apabila lahan difungsikan kembali menjadi lahan pertanian sebelum dilakukan pemulihan tanah, terjadi beberapa kemungkinan. Salah satunya yaitu jeleknya kualitas tanaman yang
dihasilkan.
Lahan
yang rusak nekat ditanami padi, butir padi yang dihasilkan menjadi kurus, tidak
berisi, dan tidak enak atau sering disebut dengan padi
‘gabug’. Turunnya kualitas produksi padi pada lahan tersebut terjadi karena hilangnya lapisan
olah tanah. Hilangnya unsur yang
diperlukan tanaman untuk memasak makanannya, membuat tanaman kesulitan tumbuh bahkan tak bisa
menyimpan sisa hasil fotosintesis.
Adalah
realita, kedalaman kubangan satu sampai dua meter masih ditanami padi dengan upaya
pemupukan organik dan kimia, bahkan disemprot pupuk daun yang mahal tak akan sesuai
dengan hasil panen. Kubangan lain dibuat kolam ikan atau dijual untuk
perumahan. Kedalam kubangan tiga sampai delapan meter dibiarkan menganga dan
digali terus ibarat membuat tebing dan jurang yang curam.
Masyarakat
sekitar terlihat apatis seolah tak berdaya, apalagi menyikapi atau bertindak. Masyarakat
perlu
mengembangkan kemampuan untuk ikut melakukan pengawasan secara konstruktif.
Sikap konstruktif ini dapat lebih mudah berkembang jika masyarakat menjadi
bagian integral ekosistem. Sepatutnya, masyarakat
mendapat bagian wajar dan adil dari manfaat industri bata
merah dan bukan
hanya menerima resiko saja. Apabila pembagian manfaat dan resikonya adil,
masyarakat akan melakukan pilihan menjaga kelangsungan hidup
industri bata merah atau mereklamasi lahan yang rusak menjadi
lahan pertanian.
Kegiatan reklamasi lahan setelah kegiatan tambang dan
industri diarahkan pada lahan pertanian pasca penambangan. Mestinya segera dilakukan
kegiatan reklamasi lahan, sebagai upaya pemanfaatan, perbaikan dan peningkatan
kualitas kesuburan lahan pertanian melalui penerapan teknologi dan pemberdayaan
masyarakat tani (Pedoman Teknis Reklamasi Lahan, 2009). Kesepakatan rembug warga
dan pemerintah menjadi titik awal tindakan reklamasi lahan. Pelaksanaannya
diarahkan menggunakan kombinasi urugan sampah, diselingi urugan lapisan tanah
secara bertahap untuk mengurangi bau dan sebaran kuman penyakit.
Peran serta masyarakat dalam pengawasan, terutama cendekiawan dan LSM,
dapat berjalan lebih baik bila tersedia data pemantauan lingkungan hidup yang
dapat diakses oleh publik. Harapannya, muncul kritik yang dapat
berpindah dari opini yang tidak didasarkan pada data ilmiah ke diskusi ilmiah. Permasalahan ini dapat diatasi bila desa mempunyai kesempatan ikut serta
dalam proses pengambilan keputusan. Segenap pelaku pembangunan di desa tak
hanya menerima secara pasif tindakan tidak ramah lingkungan, melainkan diberi
kesempatan ikut menentukan sistem pengelolaan lingkungannya. Perlu ada
demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Tetapi ini lebih mudah dikatakan
dari pada dilaksanakan. Sebab demokrasi dalam pengambilan keputusan memerlukan
orang yang mengetahui tentang permasalahannya. Walaupun sulit, namun bukanlah
suatu kemustahilan.
Terpenting,
pemerintah mengambil langkah preventif dengan melakukan kajian lingkungan hidup
sebelum diambil keputusan untuk melayani keinginan masyarakat. Tujuannya untuk
menghindari terjadinya eksploatasi lahan pertanian yang subur berikutnya untuk
material bahan bangunan. Sebaiknya material bata merah bukan terbuat dari tanah
liat subur. Ketersedian jumlah cadangan, kualitas serta nilai kegunaan ada
beberapa jenis bahan galian yang mempunyai prospek untuk dikembangkan dalam
upaya mendukung industri konstruksi. Pengoptimalan pemanfaatan bahan galian
menjadi berkualitas, bernilai ekonomis tinggi dan strategis untuk dipasarkan dengan
tetap melakukan penambangan yang berwawasan kemasyarakatan dan ramah lingkungan.
Gunakan
bahan galian dari tanah tidak subur yang memang dikembangkan untuk andalan
pertambangan, seperti breksi batu apung, bentonit, tras, andesit, batu serut, zeolit,
dan batu kapur! Sebaran perbukitan tandus breksi batu apung cukup luas, tak
hanya digunakan bahan pondasi dan dinding rumah, tapi dapat dibuat patung, meja,
kursi dan roster. Kini, inovasi teknologi breksi batu apung telah sampai pada produksi
genteng beton dan eternit berkualitas. Perkembangan ekologi industri malahan melangkah lebih
maju, yaitu berusaha mengguna-ulang sebanyak-banyaknya bahan bangunan yang menggunakan komoditi yang telah habis masa gunanya.
Berperilaku
hidup ramah lingkungan saja tidaklah cukup, apabila tidak disertai dengan
penegakan hukum dengan sanksi yang tegas dan jelas siapa yang menjadi wasit
lingkungan? Generasi penerus seyogyanya pewaris kekayaan bumi pertiwi dan
bertindak sebagai wasit lingkungan. Mereka harus tegas, lugas dan dapat berperilaku
bijak mengelola serta memanfaatkan kekayaan sumber daya yang telah disediakan
oleh alam.
Dari pemulihan dan perlindungan ini
diharapkan dapat tercapai sasaran manfaat bagi
masyarakat. Lain
perkataan, sasaran utamanya pemulihan ekosistem bekas
tambang bata merah
dan manfaat yang didapatkan adalah akibat pulihnya ekosistem lahan pertanian. Tujuan ini sangat mulia dan berbeda dari pendekatan antroposentris
yang menempatkan manusia pada pusatnya (Soemarwoto, 2001). Namun dari segi praktis di sini pula letak kelemahannya, yaitu
kemungkinan kecil akan diimplementasikan. Pengalaman menunjukkan, bahwa
manusia bersifat antroposentris. Ini dapat kita lihat dari perkembangan koordinasi yang sangat lemah.
Demi
kelestarian lingkungan hidup di kawasan pertanian, sepatutnya perlu terus
ditingkatkan penanganan lahan yang menurun kualitasnya dengan inovasi teknologi
reklamasi, pengolahan tanah dan teknik pemupukan, sehingga dapat menambah luas
areal tanam dan meningkatkan produktivitas serta pendapatan petani. Pentingnya
perilaku ramah lingkungan untuk menyadarkan adanya dua fungsi dalam membangun
hubungan sikap dan perilaku. Pengalaman menunjukkan bahwa fungsi kedua, yaitu
fungsi eksplotasi tidak dapat diabaikan. Kita harus menyadari adanya fungsi
kedua ini, mendiskusikannya dan berusaha untuk mengendalikannya.
Daftar Pustaka:
Pedoman Teknis
Reklamasi Lahan 2009, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Direktorat Pengelolaan
Lahan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian, Jakarta,
Januari 2009
Soemarwoto, Otto.
2001. Atur diri Sendiri Paradigma
Baru Pengelolaan lingkungan Hidup. Gadjahmada University Press,
Yogyakarta.
World Commission on
Environment and Development, 1987 Our
common future, Oxford University Press, Oxford.
---Tulisan ini
dibuat untuk dapat diikut-sertakan dalam lomba Essai
Ilmiah Nasional 2010 yang diselenggarakan Panitia FORCES Fair UKM Forum for Scientific
Institut Pertanian Bogor bertema kegiatan
“Menuju Indonesia Lebih Baik Dengan Teknologi Pertanian Berbasis Lingkungan”
dan sub tema lomba “Perilaku Hidup Ramah Lingkungan”. Alhamdulillah masuk tiga puluh besar ☺ Cek http://forces.lk.ipb.ac.id/2010/11/19/peserta-lein-2010/
No comments:
Post a Comment