Tuesday, May 21, 2013




”Batik Tulis Kekayaan Budaya Adiluhung”
Oleh: Winner Indi Manega



Tatkala tersebar isu di media massa, bahwa batik tulis telah diakui kepemilikannya oleh negara tetangga, terhenyak diriku, tak rela rasanya, sehingga memunculkan rasa nasionalisme yang mendalam untuk ikut serta mempertahankan kelestarian khasanah budaya bangsa yang adiluhung. Ungkapan berbagai kalangan masyarakat Indonesia dalam banyak temu wicara resmi dan tidak resmi yang terjadi secara perorangan dan dalam kelompok, sibuk membahas bagaimana tetap bisa mempertahankan aset budaya bangsa berupa batik tulis, melestarikan dan mengembangkannya. Ungkapan kepedulian dan keprihatinan akan semakin pudarnya budaya batik tulis didapatkan mulai dari berbagai kalangan masyarakat, sampai pada para pengrajin dan pedagang yang keberadaannya terancam semakin kalah saing dengan batik cap yang dicetak secara massal.
Keraguan dan kebimbangan kembali bergelayut dalam benakku, ketika kulihat sendiri, para turis asing dengan khusuk mengikuti kursus membatik di teras dan beranda rumah di seputar kawasan cagar budaya Tamansari. Ragam batik yang dapat dipelajari wisatawan manca negara tersebut meliputi batik tulis, batik cap dan batik lukis. Setiap tempat yang menawarkan pelatihan pembuatan batik, biasanya memiliki spesifikasi tersendiri tentang jenis batik yang diajarkan.
Wisatawan manca negara memang tak hanya bisa membeli dan menikmati karya seni batik yang mengagumkan, tetapi juga berkesempatan untuk mempelajari teknik pembuatannya. Kesempatan yang langka dan berharga itu, dikemas dalam paket wisata menarik dengan durasi yang cukup singkat dan harga yang terjangkau. Menarik minat memang, belajar singkat seni pembuatan batik yang ditawarkan. Tak pelak lagi, bukankah suatu saat nanti kita justru menemukan batik tulis yang berkualitas tinggi datang dari negara tetangga? Bukan tak mungkin, negara yang telah maju budayanya akan mampu menggali bahkan mengambil nilai kultural dari negara tetangganya! 
Tak dapat dipungkiri, keberadaan profesi pengrajin batik tulis sekarang, merupakan pekerjaan yang telah banyak ditinggalkan oleh banyak orang. Ketrampilan yang dibutuhkan dianggap tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan sebagai pengrajin batik tulis. Asal-muasalnya, desain batik tulis yang tidak mengikuti selera pasar, sudah barang tentu tidak laku jual, hanya indah sebatas decak kagum untuk dilihat saja. Padahal, memanfaatkan warisan budaya kita sebagai aset wisata dapat memperkuat usaha pencagarannya, di samping sebagai sumber pendapatan (Haryono Suyono, et al, 1997). Akan tetapi aset budaya batik tulis di Indonesia kini mulai terancam oleh persaingan global yang tidak rasional.
Budaya batik tulis yang adiluhung dapat ditemui di berbagai wilayah Indonesia.  Setiap daerah pengrajin batik, tentu mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri, baik dalam teknik pembuatan, corak ragam hias maupun pewarnaan. Peluang kerja membatik dapat memberikan keuntungan ekonomis, selain batik tulis juga dianggap mewakili semangat kultural yang harus dipertahankan. Terpuruknya ekonomi, lesunya pembeli, dan tingkat kesulitan pembuatan batik tulis, seolah bukanlah menjadi penghalang untuk tetap memprodusi. Hanya dari buah tangan terampil para pengrajin batik tulis dapat tercipta suatu hasil karya budaya adiluhung yang bernilai seni tinggi. Pengrajin batik tulis bukannya tidak mengenal batik dengan teknik cap yang laku jual, tetapi mereka seolah seirama untuk bersikukuh guna tetap mempertahankan tradisi leluhurnya yang mempunyai nilai seni budaya yang besar dan adiluhung.

1.    Kerumitan Membatik
 Batik tulis sejak dahulu kala dipakai oleh mayoritas penduduk, tetapi saat ini mulai dilupakan orang. Kini, batik tulis hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu atau kolektor. Pada masa mendatang. kerajinan batik tulis menjadi aktivitas yang semakin tidak populer di kalangan generasi muda. Batik tulis dianggap tidak praktis untuk dipelajari, karena rumitnya proses pembuatan dan menyita waktu lama. Harga batik tulis yang relatif mahal, disebabkan oleh tingkat kesulitan pembuatan dan lamanya proses produksi. Hal ini berujung pada tidak adanya alih generasi, disertai menurunnya permintaan pasar untuk batik tulis. Nilai kultural yang terdapat dalam batik tulis menjadi barang yang tidak lagi menarik perhatian, semua telah digantikan oleh sesuatu yang bersifat praktis. Oleh karena itu, wisata budaya batik tulis perlu direncanakan dengan baik dan kelemahan dalam pengelolaannya tak dapat ditolerir lagi.
Batik yang dimaksud, adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi. Suatu seni tradisional asli Indonesia dalam menghias kain dan bahan lain, dengan motif hias dan bahan pewarna khusus. Ketrampilan pengrajin untuk bertahan hidup melakukan kegiatan batik tulis dengan cara melukis dengan tangan di atas kain (kain mori atau cambric, kain katun, tetoron, sutera) kemudian melapisi bagian-bagian yang tidak berwarna dengan lilin atau malam yang dicampur dengan parafin, damar, dan colophium. Semula, kain dihilangkan kanjinya dengan cara direbus agar lilin atau malam dapat melekat pada kain. Selanjutnya agar lilin atau malam tidak berkembang, kain itu dikanji kemudian dikeringkan dan disetrika hingga licin (Ensiklopedi Nasional Indonesia telah dimodifikasi, 1989).
Batik sebenarnya dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu batik tulis, batik cetak dan batik kombinasi. Ketiganya dibedakan berdasarkan proses pembuatannya. Batik tulis melalui proses menulis dengan menggunakan lilin malam. Sedangkan batik cetak, lebih tepat disebut sebagai batik tekstil karena dibuat dengan peralatan tekstil. Tidak kalah menariknya, batik kombinasi adalah perpaduan antara batik tulis dan batik cetak.
Sebagai wujud rasa keprihatinan untuk mempertahankan kekayaan budaya batik tulis, kuajak keluargaku berlibur, menengok salah satu perkampungan pembuatan batik di Imogiri yang telah tersohor konon sejak jaman Kerajaan Mataram berjaya. Kelihatannya, usaha kerajinan batik tulis buatan tangan yang dikembangkan sejak ratusan tahun oleh masyarakat Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul kini semakin meredup setelah guncangan gempa bumi berkekuatan besar memporak-porandakan perkampungan batik tahun 2006.
Hasil berbincang dengan masyarakat pengrajinnya, kini kuketahui terdapat enam belas kelompok pembatik yang melibatkan enam ratus wanita pengrajin yang tersebar di tiga perdusunan di Desa Wukirsari. Kelompok wanita pembatik ini bersama kaum laki-laki berkiprah memiliki serangkaian kegiatan dan program kerja ketat dengan berbagai sentuhan pendampingan yang dilakukan oleh para lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan perguruan tinggi. Kegiatan dan program kerja kelompok pembatik, kulihat telah mengarah pada upaya pelestarian dan pengembangan usaha batik tulis. Isu perempuan pengrajin batik makin menguat seiring dengan pentingnya peran perempuan dalam mengemban generasi penerus. Menguatnya isu perempuan dalam menopang kehidupan keluarga dan pendidikan generasi penerus, dapat diangkat menjadi makin menarik bila peran perempuan dapat melestarikan budaya batik tulis yang adiluhung.
Kaderisasi ketrampilan telah dirintis melalui pelatihan dan lomba pembuatan batik tulis untuk anak-anak dan remaja. Agaknya, modifikasi kreasi batik tulis, semakin semarak dilakukan dalam rangka untuk menangkap permintaan pasar. Pengembangan pewarnaan alami telah pula banyak dicoba, namun sayangnya belum diikuti penggalakan penanaman pohon untuk bahan baku warna. Menggunakan pewarnaan alami, menjadikan nilai seni batik tulis memiliki citarasa tersendiri, disamping dapat melestarikan lingkungan juga untuk mengurangi kandungan kimiawi sebagai prasyarat laku dijual di luar negeri.
Warna alam batik tulis terdiri dari unsur warna biru, soga, merah, hijau, violet, dan kuning. Warna alam batik tulis berbahan dasar dari tumbuhan, berciri khas menampilkan kesan luwes, lembut, dan tidak akan menghasilkan nada warna yang sama. Selain soga, jenis tumbuhan untuk pewarna alam adalah gambir, tumbuhan teh, dan temu lawak sebagai penghasil warna coklat. Akar mengkudu untuk menghasilkan warna merah, serta jenis tanaman indigofera untuk warna biru. tumbuhan secang menghasilkan warna merah kecoklatan. Pewarnaan buatan batik tulis menggunakan bahan indigosol, basis, procion, indanthreen, dan naphtol, sehingga warna nampak tajam dan cerah. Kandungan kimia pewarna buatan untuk batik tulis dapat mengganggu kesehatan, sehingga tidak layak ekspor.
Ternyata, batik tulis adalah salah satu kekayaan budaya yang masih tetap lestari dan adiluhung. Karya seni batik tulis yang dipajang dan dijajakan di rumah-rumah penduduk desa terlihat menarik dengan berbagai macam jenis serta motifnya. Konon pengakuan para pengrajin, penggemar batik tulis dari luar negeri lebih tertarik pada batik yang diwarnai dengan serat-serat alam. Kumelihat adanya kesatuan tujuh kelompok batik tulis yang sedang giat melakukan pembenahan pengelolaan, perbaikan hubungan kerjasama, promosi jelajah wisata, pameran dan peragaan busana batik tulis di berbagai mall dan hotel berbintang.
 Bangkitnya semangat pengrajin batik tulis, tampak pada semakin gencarnya upaya promosi yang diikuti dengan pengembangan selebaran brosur, dan situs internet serta penataan kawasan untuk daya tarik wisata. Tak ayal lagi, kehadiran museum lingkungan batik di Imogiri seolah mampu menjawab anganku, yang tadinya bimbang dan khawatir akan semakin punahnya budaya batik tulis kita. Setelah mencermati keberadaan museum batik ini, ternyata kegiatannya yang menarik untuk melestarikan kain batik kuno hasil karya pengrajin, agar generasi muda lebih mencintai hasil karya seni bangsa sendiri.
Dalam Katalog Batik Khas Yogyakarta terbitan Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1996), menyebutkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tidak memiliki lebih dari 400 motif batik, baik motif klasik maupun modern. Ciri khas yang paling menonjol dari batik tulis klasik asal Yogyakarta terdapat pada perpaduan tiga warna yaitu hitam, coklat, dan putih. Beberapa jenis motif yang paling sering diproduksi yaitu Sidoasih, Sidomukti, Sidoluhur, Parangkesit, dan Parangrusak.
Adanya kegiatan jelajah wisata batik tulis yang telah dirintis lembaga swadaya masyakat, kelihatannya masih perlu diteruskan dan dikembangkan oleh masyarakat secara mandiri. Tak perlu khawatir, bila terjadi percampuran budaya saat terjadi singgungan sosial  kunjungan wisata. Kedatangan budaya luar yang telah tersaring dengan sendirinya, sebenarnya dapat memberi inpirasi dan kreasi baru dengan pola batik yang mengagumkan. Ternyata, hasil karya kain batik tulis bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa pembuatnya. Adanya pelatihan gratis dari paket jelajah wisata, dapat tercipta pula batik tulis dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun hasilnya merupakan karya seni yang baik.

2.    Adiluhung Kebudayaan
Batik-tulis yang diproduksi oleh para pengrajin, jika dicermati mengandung nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Adanya kesakralan tercermin dalam motif tertentu yang hanya boleh digunakan oleh  keluarga kerajaan. Keindahan hasil karya tercermin dari estetika seni batik dan motif hias, sehingga memancarkan keindahan. Proses pembuatan batik tulis memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran untuk menghasilkan hasil karya yang bagus. Makna filsafat dan nilai yang terkandung di dalam budaya batik tulis merupakan panduan tata nilai dan perilaku masayarakatnya. Makna filsafat dan nilai batik tulis itu tidaklah statis. Perlu diwaspadai agar makna filsafat dan nilai budaya batik tulis yang mendasar tidaklah dikorbankan demi “kemajuan” sosial-budaya, ekonomi dan politik masyarakat.
Usaha batik tulis ini dikhawatirkan akan punah dalam beberapa tahun ke depan akibat kecilnya minat pengrajin generasi muda, lemahnya upaya pelestarian dan pengembangan, serta lesunya minat pembeli. Apakah akan mampu para pengrajin batik tulis mempertahankan produksinya terus-menerus tanpa diimbangi adanya permintaan pasar yang bergairah? Mungkinkah budaya batik tulis yang adiluhung akan lenyap begitu saja di nusantara, beralih menjadi budaya yang yang semarak di negeri seberang?
Bukankah ragam budaya di Indonesia yang melatar-belakangi sejarahnya masih mampu menangkap dengan baik pandangan pesimis tentang keampuhan budaya yang beraneka-ragam di tanah air? Persoalannya memang terkait erat dengan upaya pelestarian kerajinan batik tulis masing-masing daerah yang tetap mengacu makna simbolisme. Betapa pentingnya, upaya melestarikan budaya lokal sebagai langkah kemajuan dengan kebudayaan yang lengkap berlatar-belakang sejarah dan keadaan geografisnya sebagai ‘identitas daerah’.
Apabila ada nilai tradisional yang baik, walaupun ada sementara yang menganggap kuno, tidak seyogyanya ditinggalkan serta dilupakan hanya untuk suatu kemajuan. Justru, nilai-nilai tersebut kelak dapat memperkuat kemajuan bila dipelihara dan dikembangkan. Batik tulis diharapkan semakin berkembang, kelestariannya tetap terjaga, juga dapat memperkaya serta mempengaruhi karya budaya ini ke alam modern. Untuk itu, semangat melestarikan batik tulis Indonesia perlu segera dipatenkan sebagai perlindungan kekayaan budaya yang adiluhung, sebelum negara lain mengambil alih pengakuan atau kepemilikannya.
Popularitas batik tulis saat ini masih kalah laku jual dari jenis batik cetak. Kenapa kita harus berani mengatakan seni batik tulis tetap mampu menjadi budaya yang adiluhung?  Bukankah budaya batik tulis kita akan semakin hilang dan pudar, apabila tidak berupaya dilestarikan dan dikemas untuk lebih laku jual? Upaya pelestariannya, dilakukan dengan tetap mempertahankan motif hias batik tulis yang sudah ada dari dahulu hingga sekarang dan diwariskan secara turun-temurun. Pola motif hias batik tulis yang ada tidak mungkin berubah, karena cara membuat pola motif  hias itu hanya dilakukan oleh orang tertentu, karena tidak setiap pembatik dapat membuat motif sendiri. Pengrajin batik tulis biasanya hanya melaksanakan pola motif hias yang telah ditentukan.
Lebih menarik lagi, kerajinan batik tulis merupakan suatu pekerjaan yang biasanya dapat bersifat kolektif, dikerjakan secara bergotong-royong dengan tindakan saling mengisi. Agar aset budaya batik tulis tetap bertahan dengan baik, perlu kiranya selalu ada perhatian serius dari berbagai pihak untuk mau bergandeng-tangan, sehingga tetap terjaga keberadaannya.

3.  Budaya Tahan Uji
Seharusnya kita tak perlu khawatir dan takut, apabila batik tulis kita ditiru atau diproduksi oleh negara lain. Melukis di atas kain, dapat dilakukan oleh siapa saja di penjuru dunia, di negara mana saja. Sudah dapat dipastikan, hasil karya batik akan mempunyai sentuhan seni, motif dan ragam hias yang berbeda. Teknik pembuatan batik tulis dan teknik pewarnaannya tentu tidak sama di setiap negara. Bukankah budaya kita terkenal “kuat” serta “tahan uji” dan tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun? Bukankah budaya kita merupakan budaya yang besar, adiluhung, berbadan samudra yang tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh budaya lain? Budaya batik tulis yang telah mengakar pada kehidupan sampai pelosok perdesaan, takkan mudah lapuk oleh hujan, dan tak lekang oleh jaman.
Bukankah kita justru bangga, bila hasil karya budaya batik tulis kita diperagakan di negara lain yang sebenarnya merupakan promosi kekayaan budaya asli dari bumi persada Indonesia? Apabila kita merasa takut kehilangan sosok budaya batik tulis, seharusnya kita berlomba melakukan tindakan untuk saling memperkuat dan mempertahankan khasanah dan ragam budaya yang telah kita miliki. Perlunya alih generasi pengrajin batik tulis pada generasi penerus bangsa masih perlu semakin digalakkan dan di tumbuh-kembangkan agar kembali kukuh, kuat bercokol sebagai kekuatan budaya bangsa yang mengakar dan besar.
Berbagai cara dicoba dan ditempuh untuk mempertahankan keberadaan aset budaya batik tulis yang adiluhung.. Upaya menghidupkan kembali kawasan pengrajin batik tulis yang  terpuruk, lesu pembelinya, dapat mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi. Perbaikan fisik sebenarnya merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi pembatik yang berjangka panjang. Perbaikan fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik sarana dan prasarana kelompok batik, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan. Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuk suatu mekanisme perawatan dan kontrol yang ‘langgeng’ terhadap keberadaan kelompok pembatik.
Kelihatannya, potensi  kekayaan kawasan para pengrajin batik yang ada belum terjual optimal. Apabila kita perhatikan secara seksama, potensi kerajinan batik tulis yang ada masih “dijual” dalam format dan kemasan apa adanya. Penjualan kekayaan budaya batik tulis tidak dilakukan secara terstruktur, tetapi secara terlepas-lepas. Kemasan eko wisata semacam ini, dapat dikembangkan di daerah mana saja, menawarkan obyek kerajinan batik tulis dan panorama alam.
Selain wisata alam, keberadaan wisata batik tulis di suatu kawasan, akan dapat diketahui apabila ada kebiasaan pengrajinnya yang selalu berkumpul, mengelompok, demi serangkaian proses pembuatan yang tidak efisien bila dilakukan sendirian. Upaya pelestarian batik tulis yang dikembangkan, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melaksanakan pembangunan oleh rakyat dan bersama rakyat. ”Pariwisata yang dikembangkan dengan dasar pro-rakyat miskin dapat memberi sumbangan yang berarti pada usaha penanggulangan kemiskinan” (Cezayerli, 2003).
Sudah menjadi kesepakatan warga, bila pengembangan industri rumah tangga batik tulis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Wisatawan dapat diajak ke rumah-rumah pengrajin, melihat, membeli dan belajar membatik, dengan harapan dapat mensejahterakan penduduk. Kemauan keras masyarakat bersama pamong cukup mampu menggerakkan eko wisata batik tulis. Eko wisata batik tulis yang dimaksud, didasarkan atas peran serta masyarakat dengan masyarakat setempat sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan, sehingga dapat membantu menanggulangi kemiskinan pada tingkat lokal.
Memang, tidaklah mudah menyatukan kemauan pengrajin batik tulis yang memiliki keinginan dan pendapat berbeda-beda. Perlu dicatat, kehadiran sosok penggerak yang gesit dalam memerankan koordinasi dan hubungan kemitraan, seyogyanya selalu memperhatikan pencagaran alam dan aset budaya. Untuk mengatasi masalah pelestarian batik tulis, perlu menyadari adanya fungsi kesadaran rasa memiliki budaya bangsa yang besar dan mengambil langkah untuk memaksimalkan fungsi ini. Kita perlu yakin, bila budaya batik tulis sebagai sesuatu yang dinamik, senantiasa berubah-ubah melalui proses penyerapan dan penyesuaian secara terus-menerus.
Peran perempuan dalam pelestarian batik tulis telah diawali dengan merubah perilaku ramah lingkungan dalam pengurangan pemakaian zat kimia, mendaur ulang lilin batik, pewarnaan alami, pengolahan limbah, semuanya ditempuh tidak lain untuk memenuhi syarat layak ekspor. Kelompok pengrajin batik tulis kita telah melakukan pembangunan berpihak perempuan. Keterlibatan kelompok ini telah mengajak para suami dalam perencanaan dan perbaikan sarana prasarana serta pengelolaan dan pemasaran.
Dalam melaksanakan penanggulangan kemiskinan, warga juga tidak banyak menerima usulan kegiatan yang hanya berdasarkan rendahnya biaya modal awal, tanpa mempertimbangkan faktor penting lainnya yang berhubungan dengan keberlanjutan. Kelihatannya kegiatan pelestarian batik tulis yang dilakukan menjadi kegiatan yang utama, tetapi sebenarnya juga menyajikan lapangan pekerjaan baru yang menarik bagi penduduk setempat. Kegiatan pelestarian batik tulis ini dapat mengurangi perpindahan penduduk perdesaan  ke kota, sehingga laju migrasi dari desa ke kota dapat dikurangi.
Gabungan paguyuban pembatik yang dapat disatukan dalam satu kesatuan  pengelolaan, demi pertumbuhan dan persaingan sehat,  dapat menjalin permintaan pasar lebih luas, sehingga terjadi sinergi antara produsen dan konsumen. Kekayaan para pembatik yang potensial dilimpahkan kepada satuan pengelola, alasannya agar setiap penjualan dapat menghasilkan sumbangan pendapatan untuk memperbaiki pelayanan. Kunjungan wisata batik tulis, dapat dibuat perjalanan jelajah wisata guna menikmati hasil karya batik melalui ruang pamer bersama atau disalurkan menyebar ke rumah-rumah pengrajin. Kesiapan budaya lokal untuk menerima budaya asing menjadi pusat perhatian, demikian juga perlu menjaga kualitas pelayanan dan penggunaan bahasa pengantar yang baik.
Tulisan esai ini tidak bermaksud untuk memberikan solusi akhir. Masalahnya pelestarian budaya batik harus menerus dan berkelanjutan. Tujuan tulisan ini, selain ikut-serta lomba penulisan esai bagi remaja tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta,.juga bertujuan untuk pembelajaran bagi penulis. Ternyata ada dua fungsi dalam membangun hubungan pelestarian dan kesadaran. Pengalaman menunjukkan bahwa fungsi kedua, yaitu fungsi kesadaran rasa memiliki budaya bangsa seni batik tulis tidak dapat diabaikan. Kita harus menyadari adanya fungsi kedua ini, mendiskusikannya dan berusaha untuk melestarikan kekayaan budaya batik tulis yang adiluhung.


Daftar Pustaka:
Cezayerli,G. 2003. Tourism more than sight-seeing. ADB Review, July-August 2003.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 3. 1989. PT.Cipta Adi Perkasa, Jakarta.
Haryono Suyono, Edi Sedyawati dan S. Budhisantoso, 1997. Introduction. Dalam: Tourism and heritage management, Wiendu Nuryati, ed. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
---. 1996 Katalog Batik Khas Yogyakarta, Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (P.I.K.M) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta





 --- Tulisan ini dibuat untuk dapat ikutserta dalam Lomba Penulisan Esai bagi Remaja se-Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Alhamdulillah mendapat peringkat kedua 

No comments:

Post a Comment