”Batik Tulis Kekayaan Budaya Adiluhung”
Tatkala tersebar
isu di media massa, bahwa batik tulis telah diakui kepemilikannya oleh negara
tetangga, terhenyak diriku, tak rela rasanya, sehingga memunculkan rasa
nasionalisme yang mendalam untuk ikut serta mempertahankan kelestarian khasanah
budaya bangsa yang adiluhung. Ungkapan berbagai kalangan masyarakat Indonesia
dalam banyak temu wicara resmi dan tidak resmi yang terjadi secara perorangan
dan dalam kelompok, sibuk membahas bagaimana tetap bisa mempertahankan aset budaya
bangsa berupa batik tulis, melestarikan dan mengembangkannya. Ungkapan kepedulian
dan keprihatinan akan semakin pudarnya budaya batik tulis didapatkan mulai dari
berbagai kalangan masyarakat, sampai pada para pengrajin dan pedagang yang keberadaannya
terancam semakin kalah saing dengan batik cap yang dicetak secara massal.
Keraguan dan kebimbangan
kembali bergelayut dalam benakku, ketika kulihat sendiri, para turis asing dengan
khusuk mengikuti kursus membatik di teras dan beranda rumah di seputar kawasan
cagar budaya Tamansari. Ragam batik yang dapat dipelajari wisatawan manca negara tersebut meliputi batik tulis, batik cap
dan batik lukis. Setiap tempat yang menawarkan pelatihan
pembuatan batik, biasanya memiliki
spesifikasi tersendiri tentang jenis batik yang diajarkan.
Wisatawan manca negara memang tak hanya bisa membeli dan
menikmati karya seni batik yang mengagumkan,
tetapi juga berkesempatan untuk mempelajari teknik pembuatannya. Kesempatan
yang langka dan
berharga itu,
dikemas dalam paket wisata menarik dengan durasi yang cukup singkat dan harga
yang terjangkau. Menarik minat memang, belajar singkat
seni pembuatan batik yang ditawarkan. Tak pelak lagi, bukankah suatu saat nanti
kita justru menemukan batik tulis yang berkualitas tinggi datang dari negara
tetangga? Bukan tak mungkin, negara yang telah maju budayanya akan mampu
menggali bahkan mengambil nilai kultural dari negara tetangganya!
Tak
dapat dipungkiri, keberadaan profesi pengrajin batik tulis sekarang, merupakan
pekerjaan yang telah banyak ditinggalkan oleh banyak orang. Ketrampilan yang
dibutuhkan dianggap tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari
pekerjaan sebagai pengrajin batik tulis. Asal-muasalnya, desain batik tulis
yang tidak mengikuti selera pasar, sudah barang tentu tidak laku jual, hanya
indah sebatas decak kagum untuk dilihat saja. Padahal, memanfaatkan warisan budaya kita sebagai aset
wisata dapat memperkuat usaha pencagarannya, di samping sebagai sumber
pendapatan (Haryono Suyono, et al,
1997). Akan tetapi aset budaya batik tulis di Indonesia kini mulai terancam
oleh persaingan global yang tidak rasional.
Budaya batik tulis yang adiluhung dapat ditemui di berbagai
wilayah Indonesia. Setiap daerah
pengrajin batik, tentu mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri, baik dalam
teknik pembuatan, corak ragam hias maupun pewarnaan. Peluang
kerja membatik dapat memberikan keuntungan ekonomis, selain batik tulis juga
dianggap mewakili semangat kultural yang harus dipertahankan. Terpuruknya ekonomi, lesunya pembeli, dan tingkat
kesulitan pembuatan batik tulis, seolah bukanlah menjadi penghalang untuk tetap
memprodusi. Hanya dari buah tangan terampil para pengrajin batik tulis
dapat tercipta suatu hasil karya budaya adiluhung yang bernilai seni tinggi. Pengrajin batik tulis bukannya tidak mengenal batik dengan
teknik cap yang laku jual, tetapi mereka seolah seirama untuk bersikukuh guna
tetap mempertahankan tradisi leluhurnya yang mempunyai nilai seni budaya yang besar dan adiluhung.
1.
Kerumitan
Membatik
Batik tulis sejak dahulu kala dipakai oleh
mayoritas penduduk, tetapi saat ini mulai dilupakan orang. Kini, batik tulis
hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu atau kolektor. Pada masa mendatang.
kerajinan batik tulis menjadi aktivitas yang semakin tidak populer di kalangan
generasi muda. Batik tulis dianggap tidak praktis untuk dipelajari, karena
rumitnya proses pembuatan dan menyita waktu lama. Harga batik tulis yang
relatif mahal, disebabkan oleh tingkat kesulitan pembuatan dan lamanya proses
produksi. Hal ini berujung pada tidak adanya alih generasi, disertai menurunnya
permintaan pasar untuk batik tulis. Nilai kultural yang terdapat dalam batik
tulis menjadi barang yang tidak lagi menarik perhatian, semua telah digantikan
oleh sesuatu yang bersifat praktis. Oleh
karena itu, wisata budaya batik tulis
perlu direncanakan dengan baik dan kelemahan dalam pengelolaannya tak dapat
ditolerir lagi.
Batik yang dimaksud, adalah kerajinan yang
memiliki nilai seni tinggi. Suatu seni tradisional
asli Indonesia dalam menghias kain dan bahan lain, dengan motif hias dan bahan
pewarna khusus. Ketrampilan pengrajin untuk bertahan hidup melakukan kegiatan batik
tulis dengan cara melukis dengan tangan di atas kain (kain mori atau cambric,
kain katun, tetoron, sutera) kemudian melapisi bagian-bagian yang tidak
berwarna dengan lilin atau malam yang dicampur dengan parafin, damar, dan
colophium. Semula, kain dihilangkan kanjinya dengan cara direbus agar lilin
atau malam dapat melekat pada kain. Selanjutnya agar lilin atau malam tidak
berkembang, kain itu dikanji kemudian dikeringkan dan disetrika hingga licin
(Ensiklopedi Nasional Indonesia telah dimodifikasi, 1989).
Batik
sebenarnya dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu batik tulis, batik cetak
dan batik kombinasi. Ketiganya dibedakan berdasarkan proses pembuatannya. Batik
tulis melalui proses menulis dengan menggunakan lilin malam. Sedangkan batik
cetak, lebih tepat disebut sebagai batik tekstil karena dibuat dengan peralatan
tekstil. Tidak kalah menariknya, batik kombinasi adalah perpaduan antara batik
tulis dan batik cetak.
Sebagai wujud rasa keprihatinan untuk mempertahankan
kekayaan budaya batik tulis, kuajak keluargaku berlibur, menengok salah satu perkampungan
pembuatan batik di Imogiri yang telah tersohor konon sejak jaman Kerajaan
Mataram berjaya. Kelihatannya, usaha kerajinan batik
tulis buatan tangan yang dikembangkan sejak ratusan tahun oleh masyarakat Desa
Wukirsari, Imogiri, Bantul kini semakin meredup setelah guncangan gempa bumi
berkekuatan besar memporak-porandakan perkampungan batik tahun 2006.
Hasil berbincang dengan masyarakat pengrajinnya, kini
kuketahui terdapat enam belas kelompok pembatik yang melibatkan enam ratus
wanita pengrajin yang tersebar di tiga perdusunan di Desa Wukirsari. Kelompok
wanita pembatik ini bersama kaum laki-laki berkiprah memiliki serangkaian
kegiatan dan program kerja ketat dengan berbagai sentuhan pendampingan yang
dilakukan oleh para lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan perguruan
tinggi. Kegiatan dan program kerja kelompok pembatik, kulihat telah mengarah
pada upaya pelestarian dan pengembangan usaha batik tulis. Isu perempuan
pengrajin batik makin menguat seiring dengan pentingnya peran perempuan dalam
mengemban generasi penerus. Menguatnya isu perempuan dalam menopang kehidupan
keluarga dan pendidikan generasi penerus, dapat diangkat menjadi makin menarik
bila peran perempuan dapat melestarikan budaya batik tulis yang adiluhung.
Kaderisasi ketrampilan telah dirintis melalui pelatihan
dan lomba pembuatan batik tulis untuk anak-anak dan remaja. Agaknya, modifikasi
kreasi batik tulis, semakin semarak dilakukan dalam rangka untuk menangkap
permintaan pasar. Pengembangan pewarnaan alami telah pula banyak dicoba, namun
sayangnya belum diikuti penggalakan penanaman pohon untuk bahan baku warna.
Menggunakan pewarnaan alami, menjadikan nilai seni batik
tulis memiliki citarasa tersendiri, disamping dapat melestarikan lingkungan
juga untuk mengurangi kandungan kimiawi sebagai prasyarat laku dijual di luar negeri.
Warna
alam batik tulis terdiri dari unsur warna biru, soga, merah, hijau, violet, dan
kuning. Warna alam batik tulis berbahan dasar dari tumbuhan, berciri khas
menampilkan kesan luwes, lembut, dan tidak akan menghasilkan nada warna yang
sama. Selain soga, jenis tumbuhan untuk pewarna alam adalah gambir, tumbuhan
teh, dan temu lawak sebagai penghasil warna coklat. Akar mengkudu untuk
menghasilkan warna merah, serta jenis tanaman indigofera untuk warna biru.
tumbuhan secang menghasilkan warna merah kecoklatan. Pewarnaan buatan batik
tulis menggunakan bahan indigosol, basis, procion, indanthreen, dan naphtol,
sehingga warna nampak tajam dan cerah. Kandungan kimia pewarna buatan untuk
batik tulis dapat mengganggu kesehatan, sehingga tidak layak ekspor.
Ternyata,
batik tulis adalah salah satu kekayaan budaya yang masih tetap lestari dan
adiluhung. Karya seni batik tulis yang dipajang dan dijajakan di rumah-rumah
penduduk desa terlihat menarik dengan berbagai macam jenis serta motifnya. Konon
pengakuan para pengrajin, penggemar batik tulis dari luar negeri lebih tertarik
pada batik yang diwarnai dengan serat-serat alam. Kumelihat adanya kesatuan
tujuh kelompok batik tulis yang sedang giat melakukan pembenahan pengelolaan, perbaikan
hubungan kerjasama, promosi jelajah wisata, pameran dan peragaan busana batik
tulis di berbagai mall dan hotel berbintang.
Bangkitnya semangat pengrajin batik tulis, tampak
pada semakin gencarnya upaya promosi yang diikuti dengan pengembangan selebaran
brosur, dan situs internet serta penataan kawasan untuk daya tarik wisata.
Tak ayal lagi, kehadiran museum lingkungan batik di
Imogiri seolah mampu menjawab anganku, yang tadinya bimbang dan khawatir akan semakin
punahnya budaya batik tulis kita. Setelah mencermati keberadaan museum batik ini,
ternyata kegiatannya yang menarik untuk melestarikan kain batik kuno hasil
karya pengrajin, agar generasi muda lebih mencintai hasil karya seni bangsa
sendiri.
Dalam Katalog Batik Khas Yogyakarta terbitan Proyek Pengembangan
Industri Kecil dan Menengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1996),
menyebutkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tidak memiliki lebih
dari 400 motif batik, baik motif klasik maupun modern. Ciri
khas yang paling menonjol dari batik tulis klasik asal Yogyakarta terdapat pada
perpaduan tiga warna yaitu hitam, coklat, dan putih. Beberapa jenis motif yang
paling sering diproduksi yaitu Sidoasih, Sidomukti, Sidoluhur, Parangkesit, dan
Parangrusak.
Adanya kegiatan jelajah wisata batik tulis yang telah dirintis
lembaga swadaya masyakat, kelihatannya masih perlu diteruskan dan dikembangkan oleh
masyarakat secara mandiri. Tak perlu khawatir, bila terjadi percampuran budaya
saat terjadi singgungan sosial kunjungan
wisata. Kedatangan budaya luar yang telah tersaring dengan sendirinya,
sebenarnya dapat memberi inpirasi dan kreasi baru dengan pola batik yang mengagumkan.
Ternyata, hasil karya kain batik tulis bukanlah hanya sekedar kain, melainkan
telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa
pembuatnya. Adanya pelatihan gratis dari paket jelajah wisata, dapat tercipta pula
batik tulis dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun hasilnya
merupakan karya seni yang baik.
2. Adiluhung Kebudayaan
Batik-tulis yang diproduksi oleh para pengrajin, jika dicermati
mengandung nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari
bagi masyarakat pendukungnya. Adanya kesakralan tercermin dalam motif tertentu
yang hanya boleh digunakan oleh keluarga
kerajaan. Keindahan hasil karya tercermin dari estetika seni batik dan motif
hias, sehingga memancarkan keindahan. Proses pembuatan batik tulis memerlukan
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran untuk menghasilkan hasil karya yang bagus.
Makna filsafat dan nilai yang terkandung di dalam budaya batik tulis merupakan
panduan tata nilai dan perilaku masayarakatnya. Makna filsafat dan nilai batik
tulis itu tidaklah statis. Perlu diwaspadai agar makna filsafat dan nilai
budaya batik tulis yang mendasar tidaklah dikorbankan demi “kemajuan”
sosial-budaya, ekonomi dan politik masyarakat.
Usaha
batik tulis ini dikhawatirkan akan punah dalam beberapa tahun ke depan akibat
kecilnya minat pengrajin generasi muda, lemahnya upaya pelestarian dan
pengembangan, serta lesunya minat pembeli. Apakah akan mampu para pengrajin
batik tulis mempertahankan produksinya terus-menerus tanpa diimbangi adanya
permintaan pasar yang bergairah? Mungkinkah budaya batik tulis yang adiluhung
akan lenyap begitu saja di nusantara, beralih menjadi budaya yang yang semarak
di negeri seberang?
Bukankah ragam
budaya di Indonesia yang melatar-belakangi sejarahnya masih mampu menangkap
dengan baik pandangan pesimis tentang keampuhan budaya yang beraneka-ragam di
tanah air? Persoalannya memang terkait erat dengan upaya pelestarian kerajinan
batik tulis masing-masing daerah yang tetap mengacu makna simbolisme. Betapa
pentingnya, upaya melestarikan budaya lokal sebagai langkah kemajuan dengan
kebudayaan yang lengkap berlatar-belakang sejarah dan keadaan geografisnya
sebagai ‘identitas daerah’.
Apabila ada nilai tradisional yang baik, walaupun ada
sementara yang menganggap kuno, tidak seyogyanya ditinggalkan serta dilupakan
hanya untuk suatu kemajuan. Justru, nilai-nilai tersebut kelak dapat memperkuat
kemajuan bila dipelihara dan dikembangkan. Batik
tulis diharapkan semakin berkembang, kelestariannya tetap terjaga, juga dapat
memperkaya serta mempengaruhi karya budaya ini ke alam modern. Untuk itu, semangat
melestarikan batik tulis Indonesia perlu segera dipatenkan sebagai perlindungan
kekayaan budaya yang adiluhung, sebelum negara lain mengambil alih pengakuan
atau kepemilikannya.
Popularitas
batik tulis saat ini masih kalah laku jual dari jenis batik cetak. Kenapa kita harus berani mengatakan seni batik tulis tetap
mampu menjadi budaya yang adiluhung?
Bukankah budaya batik tulis kita akan semakin hilang dan pudar, apabila
tidak berupaya dilestarikan dan dikemas untuk lebih laku jual? Upaya pelestariannya, dilakukan dengan tetap mempertahankan
motif hias batik tulis yang sudah ada dari dahulu hingga sekarang dan diwariskan
secara turun-temurun. Pola motif hias batik tulis yang ada tidak mungkin berubah,
karena cara membuat pola motif hias itu
hanya dilakukan oleh orang tertentu, karena tidak setiap pembatik dapat membuat
motif sendiri. Pengrajin batik tulis biasanya hanya melaksanakan pola motif
hias yang telah ditentukan.
Lebih menarik lagi, kerajinan batik tulis merupakan suatu
pekerjaan yang biasanya dapat bersifat kolektif, dikerjakan secara bergotong-royong
dengan tindakan saling mengisi. Agar
aset budaya batik tulis tetap bertahan dengan baik, perlu kiranya selalu ada perhatian
serius dari berbagai pihak untuk mau bergandeng-tangan, sehingga tetap terjaga
keberadaannya.
3. Budaya Tahan Uji
Seharusnya kita tak perlu khawatir dan takut,
apabila batik tulis kita ditiru atau diproduksi oleh negara lain. Melukis di
atas kain, dapat dilakukan oleh siapa saja di penjuru dunia, di negara mana
saja. Sudah dapat dipastikan, hasil karya batik akan mempunyai sentuhan seni,
motif dan ragam hias yang berbeda. Teknik pembuatan batik tulis dan teknik pewarnaannya
tentu tidak sama di setiap negara. Bukankah budaya kita terkenal “kuat” serta “tahan
uji” dan tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun? Bukankah budaya kita merupakan
budaya yang besar, adiluhung, berbadan samudra yang tidak mudah terombang-ambing
oleh pengaruh budaya lain? Budaya batik tulis yang telah mengakar pada
kehidupan sampai pelosok perdesaan, takkan mudah lapuk oleh hujan, dan tak
lekang oleh jaman.
Bukankah kita justru bangga, bila hasil karya
budaya batik tulis kita diperagakan di negara lain yang sebenarnya merupakan
promosi kekayaan budaya asli dari bumi persada Indonesia? Apabila kita merasa takut
kehilangan sosok budaya batik tulis, seharusnya kita berlomba melakukan
tindakan untuk saling memperkuat dan mempertahankan khasanah dan ragam budaya yang
telah kita miliki. Perlunya alih generasi pengrajin batik tulis pada generasi
penerus bangsa masih perlu semakin digalakkan dan di tumbuh-kembangkan agar kembali
kukuh, kuat bercokol sebagai kekuatan budaya bangsa yang mengakar dan besar.
Berbagai cara dicoba dan ditempuh untuk
mempertahankan keberadaan aset budaya batik tulis yang adiluhung.. Upaya menghidupkan
kembali kawasan pengrajin batik tulis yang
terpuruk, lesu pembelinya, dapat mencakup perbaikan aspek fisik dan
aspek ekonomi. Perbaikan fisik sebenarnya merupakan strategi jangka pendek yang
dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi pembatik
yang berjangka panjang. Perbaikan fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi
fisik sarana dan prasarana kelompok batik, namun tidak untuk jangka panjang.
Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi yang
merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan. Hal tersebut mutlak
diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuk
suatu mekanisme perawatan dan kontrol yang ‘langgeng’ terhadap keberadaan kelompok
pembatik.
Kelihatannya, potensi kekayaan kawasan para pengrajin batik yang
ada belum terjual optimal. Apabila kita perhatikan secara seksama, potensi
kerajinan batik tulis yang ada masih “dijual” dalam format dan kemasan apa
adanya. Penjualan kekayaan budaya batik tulis tidak dilakukan secara
terstruktur, tetapi secara terlepas-lepas. Kemasan eko wisata semacam ini, dapat dikembangkan di
daerah mana saja, menawarkan obyek kerajinan batik tulis dan panorama alam.
Selain wisata alam, keberadaan
wisata batik tulis di suatu kawasan, akan dapat diketahui apabila ada kebiasaan
pengrajinnya yang selalu berkumpul, mengelompok, demi serangkaian proses
pembuatan yang tidak efisien bila dilakukan sendirian. Upaya pelestarian batik
tulis yang dikembangkan, memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk melaksanakan pembangunan oleh rakyat dan bersama rakyat. ”Pariwisata yang
dikembangkan dengan dasar pro-rakyat miskin dapat memberi sumbangan yang
berarti pada usaha penanggulangan kemiskinan” (Cezayerli, 2003).
Sudah menjadi
kesepakatan warga, bila pengembangan industri rumah
tangga batik tulis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Wisatawan dapat
diajak ke rumah-rumah pengrajin, melihat, membeli dan belajar membatik, dengan
harapan dapat mensejahterakan penduduk. Kemauan keras masyarakat bersama pamong
cukup mampu menggerakkan eko wisata
batik tulis. Eko wisata batik
tulis yang dimaksud, didasarkan atas peran serta masyarakat dengan masyarakat
setempat sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan, sehingga dapat membantu
menanggulangi kemiskinan pada tingkat lokal.
Memang, tidaklah mudah menyatukan kemauan
pengrajin batik tulis yang memiliki keinginan dan pendapat berbeda-beda. Perlu
dicatat, kehadiran sosok penggerak yang gesit dalam memerankan koordinasi dan
hubungan kemitraan, seyogyanya selalu memperhatikan pencagaran alam dan aset
budaya. Untuk mengatasi masalah pelestarian batik tulis, perlu menyadari adanya
fungsi kesadaran rasa memiliki budaya bangsa yang besar dan mengambil langkah
untuk memaksimalkan fungsi ini. Kita
perlu yakin, bila budaya batik tulis sebagai sesuatu yang dinamik, senantiasa
berubah-ubah melalui proses penyerapan dan penyesuaian secara terus-menerus.
Peran perempuan
dalam pelestarian batik tulis telah diawali dengan merubah perilaku ramah
lingkungan dalam pengurangan pemakaian zat kimia, mendaur ulang lilin batik,
pewarnaan alami, pengolahan limbah, semuanya ditempuh tidak lain untuk memenuhi
syarat layak ekspor. Kelompok pengrajin batik
tulis kita telah melakukan pembangunan berpihak perempuan. Keterlibatan
kelompok ini telah mengajak para suami dalam perencanaan dan perbaikan sarana prasarana
serta pengelolaan dan pemasaran.
Dalam melaksanakan
penanggulangan kemiskinan, warga juga tidak banyak menerima usulan kegiatan
yang hanya berdasarkan rendahnya biaya modal awal, tanpa mempertimbangkan
faktor penting lainnya yang berhubungan dengan keberlanjutan. Kelihatannya kegiatan pelestarian batik tulis yang
dilakukan menjadi kegiatan yang utama, tetapi sebenarnya juga menyajikan
lapangan pekerjaan baru yang menarik bagi penduduk setempat. Kegiatan
pelestarian batik tulis ini dapat mengurangi perpindahan penduduk perdesaan ke kota, sehingga laju migrasi dari desa ke
kota dapat dikurangi.
Gabungan paguyuban pembatik yang
dapat disatukan dalam satu kesatuan
pengelolaan, demi pertumbuhan dan persaingan sehat, dapat menjalin permintaan pasar lebih luas,
sehingga terjadi sinergi antara produsen dan konsumen. Kekayaan para pembatik
yang potensial dilimpahkan kepada satuan pengelola, alasannya agar setiap penjualan
dapat menghasilkan sumbangan pendapatan untuk memperbaiki pelayanan. Kunjungan
wisata batik tulis, dapat dibuat perjalanan jelajah wisata guna menikmati hasil
karya batik melalui ruang pamer bersama atau disalurkan menyebar ke rumah-rumah
pengrajin. Kesiapan budaya lokal untuk menerima budaya asing menjadi pusat perhatian,
demikian juga perlu menjaga kualitas pelayanan dan penggunaan bahasa pengantar
yang baik.
Tulisan
esai ini tidak bermaksud untuk memberikan solusi akhir. Masalahnya pelestarian
budaya batik harus menerus dan berkelanjutan. Tujuan tulisan ini, selain ikut-serta
lomba penulisan esai bagi remaja tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Balai
Bahasa Yogyakarta,.juga bertujuan untuk pembelajaran bagi penulis. Ternyata ada
dua fungsi dalam membangun hubungan pelestarian dan kesadaran. Pengalaman
menunjukkan bahwa fungsi kedua, yaitu fungsi kesadaran rasa memiliki budaya
bangsa seni batik tulis tidak dapat diabaikan. Kita harus menyadari adanya
fungsi kedua ini, mendiskusikannya dan berusaha untuk melestarikan kekayaan
budaya batik tulis yang adiluhung.
Daftar Pustaka:
Cezayerli,G. 2003. Tourism more than sight-seeing. ADB
Review, July-August 2003.
Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Jilid 3. 1989. PT.Cipta Adi Perkasa, Jakarta.
Haryono
Suyono, Edi Sedyawati dan S. Budhisantoso, 1997. Introduction. Dalam: Tourism
and heritage management, Wiendu Nuryati, ed. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
---. 1996 Katalog Batik Khas Yogyakarta, Proyek Pengembangan
Industri Kecil dan Menengah (P.I.K.M) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
--- Tulisan
ini dibuat untuk dapat ikutserta dalam Lomba Penulisan Esai bagi Remaja se-Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008
yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Alhamdulillah mendapat peringkat kedua ☺