Thursday, May 23, 2013


MENGAYUH, MENGAGUMI HERITAGE JOGJA



Kebiasaan naik sepeda akan membuat kita lebih sehat. Tak hanya itu, semakin banyak orang bersepeda, udara menjadi lebih bersih dan tidak bising. Begitu populernya sepeda, yang menggunakannya adalah segenap lapisan masyarakat. Mereka menggunakan untuk transpor ke sekolahan, ke pekerjaan (Sego Segawe) dan tempat belanja atau sekedar untuk rekreasi berkeliling Jogja sebagai kota heritage yang menawan. Sepeda populer di kalangan rakyat kecil, karena sepeda adalah alat transpor yang murah. Untuk menggerakkannya tidak memerlukan Bahan Bakar Minyak (BBM), melainkan cukup dengan dikayuh. Apabila penggunaan sepeda dapat dibangkitkan lagi, kemacetan lalulintas akan berkurang, efisiensi penggunaan BBM meningkat dan biaya transpor berkurang.
Sepeda merupakan alat transpor yang sehat. Untuk menggerakkannya diperlukan tenaga manusia, yaitu dengan mengayuh atau ngonthel (Bahasa Jawa). Aspek kesehatan ini diakui masyarakat luas, terutama masyarakat lapisan menengah dan atas. Mereka membeli sepeda statis yang mahal harganya. Sepeda adalah alat transpor ramah lingkungan. Pencemaran yang disebabkan olehnya hanya gas CO2 dan uap air dari pernafasan pengendaranya. Karena efisiensi penggunaan energi pada sepeda lebih tinggi daripada dengan mobil. Penggalakan penggunaan sepeda akan mempunyai dampak yang besar pada lingkungan. Tidak pula ada gas yang menyebabkan hujan asam dan gas beracun serta debu halus yang menyebabkan penyakit asma. Tidak pula ada zat pencemar logam berat yang menghambat perkembangan sistem syaraf pusat pada anak-anak. Kebiasaan bersepeda, tidak membuat generasi penerus kita mempunyai kemampuan berpikir yang lebih rendah daripada kita. Kebiasaan mengayuh sepeda, berekses menurunnya pencemaran, kesehatan akan meningkat, sehingga biaya kesehatan turun dan kehilangan hari kerja karena sakit juga turun.
Peningkatan penggunaan sepeda akan memacu industri persepedaan. Produksi banyak onderdil sepeda dapat dilakukan oleh pengusaha kecil, misalnya rem dan sadel. Jadi akan menciptakan lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan juga tercipta dari perakitan dan perdagangan sepeda. Selanjutnya dengan membangkitkan wisata bersepeda di kota Jogja yang penuh peninggalan sejarah dan purbakala akan tumbuh usaha penyewaan sepeda. Membiasakan penggunaan sepeda merupakan salah satu usaha menjadikan penduduk di kota pendidikan tumbuh sehat di lingkungan udara yang semakin segar. Jogja sebagai kota sepeda akan semakin populer heritagenya untuk kegiatan eko-wisata yang memihak rakyat kecil.
Walaupun sepeda mempunyai banyak sifat yang baik, namun membiasakan penggunaan sepeda menghadapi banyak kendala. Kendala terbesar adalah budaya. Kita sangat sadar pada simbol status. Sepeda dianggap sebagai kendaraan orang miskin. Naik sepeda dianggap tidak bergengsi, kalah dari motor, apalagi mobil. Alasan lain yang sering dikemukakan tidak mau naik sepeda karena beriklim tropik. Karena itu panas dan tidak sesuai untuk bersepeda. Tetapi kita kan orang tropik yang telah teradaptasi pada iklim tropik, seharusnya sudah terbiasa dengan suhu panas. Semestinya iklim bukanlah kendala untuk bersepeda.
Kendala lain ialah pengendara sepeda tidak mempunyai hak jalan. Sedikit sekali jalur khusus untuk sepeda. Tanda jalur alternatif terdekat untuk sepeda, hanya memberikan rasa tenteram bagi pengendara karena lebih dekat mengayuhnya. Apabila telah ada jalur sepeda, perlu dilestarikan, tetapi apabila belum ada perlu diusahakan, minimal dengan garis pembatas khusus untuk orang bersepeda. Bukankah jalur lambat sering dilanggar pelawan arus, tetapi tak ada wasit yang meniup peluit. Kini sudah terlanjur pohon peneduh ditebangi untuk pelebaran jalan. Meskipun jalan aspal menjadi lebar, tapi jalur sepeda menjadi satu dengan jalur mobil dan motor. Lebih runyam lagi jalur sepeda sudah kalah dengan jalur Bus Trans Jogja dan parkir kendaraan bermotor, bahkan jalur sepeda kalah dengan kaki lima di badan jalan.  
Tak dapat dihindari, kelakuan pengendara motor dan mobil yang tidak menghormati hak jalan pengguna jalan lain. Adanya tanda jalur sepeda dengan cat putih kurang menjamin keamanan pengendara sepeda. Seyogyanya dibuat pemisah jalur secara fisik atau tanaman pembatas. Perlu dikaji adanya aturan bagi pengendara mobil dan motor yang membuat cedera pengendara sepeda dikenai hukuman lebih berat. Sulitnya mencari tempat parkir sepeda yang aman di Kota Sepeda Jogja, apalagi yang disertai karcis khusus parkir sepeda. Apabila tidak ada tukang parkir yang dilengkapi parkir sepeda, amankah sepeda dirantai pada tiang yang disediakan di tengah taman kota?
Mengayuh, mengagumi Jogja sebagai kota heritage diupayakan dikembangkan dengan berbagai inovasi, agar lebih banyak penggemar naik sepeda. Membiasakan mengayuh sepeda terkandung maksud selain mendukung program langit biru, juga untuk menumbuhkan semangat dan kunjungan wisata di kota budaya Jogja.





---Tulisan ini dibuat untuk dapat mengikuti Lomba Karya Tulis Sego Segawe dengan tema “Bersepeda Mengagumi Jogja Sebagai Kota Heritage” yang diselenggarakan oleh Harian Bernas Jogja. Alhamdulillah mendapat peringkat pertama ☺


Wednesday, May 22, 2013

Tuesday, May 21, 2013




”Batik Tulis Kekayaan Budaya Adiluhung”
Oleh: Winner Indi Manega



Tatkala tersebar isu di media massa, bahwa batik tulis telah diakui kepemilikannya oleh negara tetangga, terhenyak diriku, tak rela rasanya, sehingga memunculkan rasa nasionalisme yang mendalam untuk ikut serta mempertahankan kelestarian khasanah budaya bangsa yang adiluhung. Ungkapan berbagai kalangan masyarakat Indonesia dalam banyak temu wicara resmi dan tidak resmi yang terjadi secara perorangan dan dalam kelompok, sibuk membahas bagaimana tetap bisa mempertahankan aset budaya bangsa berupa batik tulis, melestarikan dan mengembangkannya. Ungkapan kepedulian dan keprihatinan akan semakin pudarnya budaya batik tulis didapatkan mulai dari berbagai kalangan masyarakat, sampai pada para pengrajin dan pedagang yang keberadaannya terancam semakin kalah saing dengan batik cap yang dicetak secara massal.
Keraguan dan kebimbangan kembali bergelayut dalam benakku, ketika kulihat sendiri, para turis asing dengan khusuk mengikuti kursus membatik di teras dan beranda rumah di seputar kawasan cagar budaya Tamansari. Ragam batik yang dapat dipelajari wisatawan manca negara tersebut meliputi batik tulis, batik cap dan batik lukis. Setiap tempat yang menawarkan pelatihan pembuatan batik, biasanya memiliki spesifikasi tersendiri tentang jenis batik yang diajarkan.
Wisatawan manca negara memang tak hanya bisa membeli dan menikmati karya seni batik yang mengagumkan, tetapi juga berkesempatan untuk mempelajari teknik pembuatannya. Kesempatan yang langka dan berharga itu, dikemas dalam paket wisata menarik dengan durasi yang cukup singkat dan harga yang terjangkau. Menarik minat memang, belajar singkat seni pembuatan batik yang ditawarkan. Tak pelak lagi, bukankah suatu saat nanti kita justru menemukan batik tulis yang berkualitas tinggi datang dari negara tetangga? Bukan tak mungkin, negara yang telah maju budayanya akan mampu menggali bahkan mengambil nilai kultural dari negara tetangganya! 
Tak dapat dipungkiri, keberadaan profesi pengrajin batik tulis sekarang, merupakan pekerjaan yang telah banyak ditinggalkan oleh banyak orang. Ketrampilan yang dibutuhkan dianggap tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan sebagai pengrajin batik tulis. Asal-muasalnya, desain batik tulis yang tidak mengikuti selera pasar, sudah barang tentu tidak laku jual, hanya indah sebatas decak kagum untuk dilihat saja. Padahal, memanfaatkan warisan budaya kita sebagai aset wisata dapat memperkuat usaha pencagarannya, di samping sebagai sumber pendapatan (Haryono Suyono, et al, 1997). Akan tetapi aset budaya batik tulis di Indonesia kini mulai terancam oleh persaingan global yang tidak rasional.
Budaya batik tulis yang adiluhung dapat ditemui di berbagai wilayah Indonesia.  Setiap daerah pengrajin batik, tentu mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri, baik dalam teknik pembuatan, corak ragam hias maupun pewarnaan. Peluang kerja membatik dapat memberikan keuntungan ekonomis, selain batik tulis juga dianggap mewakili semangat kultural yang harus dipertahankan. Terpuruknya ekonomi, lesunya pembeli, dan tingkat kesulitan pembuatan batik tulis, seolah bukanlah menjadi penghalang untuk tetap memprodusi. Hanya dari buah tangan terampil para pengrajin batik tulis dapat tercipta suatu hasil karya budaya adiluhung yang bernilai seni tinggi. Pengrajin batik tulis bukannya tidak mengenal batik dengan teknik cap yang laku jual, tetapi mereka seolah seirama untuk bersikukuh guna tetap mempertahankan tradisi leluhurnya yang mempunyai nilai seni budaya yang besar dan adiluhung.

1.    Kerumitan Membatik
 Batik tulis sejak dahulu kala dipakai oleh mayoritas penduduk, tetapi saat ini mulai dilupakan orang. Kini, batik tulis hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu atau kolektor. Pada masa mendatang. kerajinan batik tulis menjadi aktivitas yang semakin tidak populer di kalangan generasi muda. Batik tulis dianggap tidak praktis untuk dipelajari, karena rumitnya proses pembuatan dan menyita waktu lama. Harga batik tulis yang relatif mahal, disebabkan oleh tingkat kesulitan pembuatan dan lamanya proses produksi. Hal ini berujung pada tidak adanya alih generasi, disertai menurunnya permintaan pasar untuk batik tulis. Nilai kultural yang terdapat dalam batik tulis menjadi barang yang tidak lagi menarik perhatian, semua telah digantikan oleh sesuatu yang bersifat praktis. Oleh karena itu, wisata budaya batik tulis perlu direncanakan dengan baik dan kelemahan dalam pengelolaannya tak dapat ditolerir lagi.
Batik yang dimaksud, adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi. Suatu seni tradisional asli Indonesia dalam menghias kain dan bahan lain, dengan motif hias dan bahan pewarna khusus. Ketrampilan pengrajin untuk bertahan hidup melakukan kegiatan batik tulis dengan cara melukis dengan tangan di atas kain (kain mori atau cambric, kain katun, tetoron, sutera) kemudian melapisi bagian-bagian yang tidak berwarna dengan lilin atau malam yang dicampur dengan parafin, damar, dan colophium. Semula, kain dihilangkan kanjinya dengan cara direbus agar lilin atau malam dapat melekat pada kain. Selanjutnya agar lilin atau malam tidak berkembang, kain itu dikanji kemudian dikeringkan dan disetrika hingga licin (Ensiklopedi Nasional Indonesia telah dimodifikasi, 1989).
Batik sebenarnya dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu batik tulis, batik cetak dan batik kombinasi. Ketiganya dibedakan berdasarkan proses pembuatannya. Batik tulis melalui proses menulis dengan menggunakan lilin malam. Sedangkan batik cetak, lebih tepat disebut sebagai batik tekstil karena dibuat dengan peralatan tekstil. Tidak kalah menariknya, batik kombinasi adalah perpaduan antara batik tulis dan batik cetak.
Sebagai wujud rasa keprihatinan untuk mempertahankan kekayaan budaya batik tulis, kuajak keluargaku berlibur, menengok salah satu perkampungan pembuatan batik di Imogiri yang telah tersohor konon sejak jaman Kerajaan Mataram berjaya. Kelihatannya, usaha kerajinan batik tulis buatan tangan yang dikembangkan sejak ratusan tahun oleh masyarakat Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul kini semakin meredup setelah guncangan gempa bumi berkekuatan besar memporak-porandakan perkampungan batik tahun 2006.
Hasil berbincang dengan masyarakat pengrajinnya, kini kuketahui terdapat enam belas kelompok pembatik yang melibatkan enam ratus wanita pengrajin yang tersebar di tiga perdusunan di Desa Wukirsari. Kelompok wanita pembatik ini bersama kaum laki-laki berkiprah memiliki serangkaian kegiatan dan program kerja ketat dengan berbagai sentuhan pendampingan yang dilakukan oleh para lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan perguruan tinggi. Kegiatan dan program kerja kelompok pembatik, kulihat telah mengarah pada upaya pelestarian dan pengembangan usaha batik tulis. Isu perempuan pengrajin batik makin menguat seiring dengan pentingnya peran perempuan dalam mengemban generasi penerus. Menguatnya isu perempuan dalam menopang kehidupan keluarga dan pendidikan generasi penerus, dapat diangkat menjadi makin menarik bila peran perempuan dapat melestarikan budaya batik tulis yang adiluhung.
Kaderisasi ketrampilan telah dirintis melalui pelatihan dan lomba pembuatan batik tulis untuk anak-anak dan remaja. Agaknya, modifikasi kreasi batik tulis, semakin semarak dilakukan dalam rangka untuk menangkap permintaan pasar. Pengembangan pewarnaan alami telah pula banyak dicoba, namun sayangnya belum diikuti penggalakan penanaman pohon untuk bahan baku warna. Menggunakan pewarnaan alami, menjadikan nilai seni batik tulis memiliki citarasa tersendiri, disamping dapat melestarikan lingkungan juga untuk mengurangi kandungan kimiawi sebagai prasyarat laku dijual di luar negeri.
Warna alam batik tulis terdiri dari unsur warna biru, soga, merah, hijau, violet, dan kuning. Warna alam batik tulis berbahan dasar dari tumbuhan, berciri khas menampilkan kesan luwes, lembut, dan tidak akan menghasilkan nada warna yang sama. Selain soga, jenis tumbuhan untuk pewarna alam adalah gambir, tumbuhan teh, dan temu lawak sebagai penghasil warna coklat. Akar mengkudu untuk menghasilkan warna merah, serta jenis tanaman indigofera untuk warna biru. tumbuhan secang menghasilkan warna merah kecoklatan. Pewarnaan buatan batik tulis menggunakan bahan indigosol, basis, procion, indanthreen, dan naphtol, sehingga warna nampak tajam dan cerah. Kandungan kimia pewarna buatan untuk batik tulis dapat mengganggu kesehatan, sehingga tidak layak ekspor.
Ternyata, batik tulis adalah salah satu kekayaan budaya yang masih tetap lestari dan adiluhung. Karya seni batik tulis yang dipajang dan dijajakan di rumah-rumah penduduk desa terlihat menarik dengan berbagai macam jenis serta motifnya. Konon pengakuan para pengrajin, penggemar batik tulis dari luar negeri lebih tertarik pada batik yang diwarnai dengan serat-serat alam. Kumelihat adanya kesatuan tujuh kelompok batik tulis yang sedang giat melakukan pembenahan pengelolaan, perbaikan hubungan kerjasama, promosi jelajah wisata, pameran dan peragaan busana batik tulis di berbagai mall dan hotel berbintang.
 Bangkitnya semangat pengrajin batik tulis, tampak pada semakin gencarnya upaya promosi yang diikuti dengan pengembangan selebaran brosur, dan situs internet serta penataan kawasan untuk daya tarik wisata. Tak ayal lagi, kehadiran museum lingkungan batik di Imogiri seolah mampu menjawab anganku, yang tadinya bimbang dan khawatir akan semakin punahnya budaya batik tulis kita. Setelah mencermati keberadaan museum batik ini, ternyata kegiatannya yang menarik untuk melestarikan kain batik kuno hasil karya pengrajin, agar generasi muda lebih mencintai hasil karya seni bangsa sendiri.
Dalam Katalog Batik Khas Yogyakarta terbitan Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1996), menyebutkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tidak memiliki lebih dari 400 motif batik, baik motif klasik maupun modern. Ciri khas yang paling menonjol dari batik tulis klasik asal Yogyakarta terdapat pada perpaduan tiga warna yaitu hitam, coklat, dan putih. Beberapa jenis motif yang paling sering diproduksi yaitu Sidoasih, Sidomukti, Sidoluhur, Parangkesit, dan Parangrusak.
Adanya kegiatan jelajah wisata batik tulis yang telah dirintis lembaga swadaya masyakat, kelihatannya masih perlu diteruskan dan dikembangkan oleh masyarakat secara mandiri. Tak perlu khawatir, bila terjadi percampuran budaya saat terjadi singgungan sosial  kunjungan wisata. Kedatangan budaya luar yang telah tersaring dengan sendirinya, sebenarnya dapat memberi inpirasi dan kreasi baru dengan pola batik yang mengagumkan. Ternyata, hasil karya kain batik tulis bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa pembuatnya. Adanya pelatihan gratis dari paket jelajah wisata, dapat tercipta pula batik tulis dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun hasilnya merupakan karya seni yang baik.

2.    Adiluhung Kebudayaan
Batik-tulis yang diproduksi oleh para pengrajin, jika dicermati mengandung nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Adanya kesakralan tercermin dalam motif tertentu yang hanya boleh digunakan oleh  keluarga kerajaan. Keindahan hasil karya tercermin dari estetika seni batik dan motif hias, sehingga memancarkan keindahan. Proses pembuatan batik tulis memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran untuk menghasilkan hasil karya yang bagus. Makna filsafat dan nilai yang terkandung di dalam budaya batik tulis merupakan panduan tata nilai dan perilaku masayarakatnya. Makna filsafat dan nilai batik tulis itu tidaklah statis. Perlu diwaspadai agar makna filsafat dan nilai budaya batik tulis yang mendasar tidaklah dikorbankan demi “kemajuan” sosial-budaya, ekonomi dan politik masyarakat.
Usaha batik tulis ini dikhawatirkan akan punah dalam beberapa tahun ke depan akibat kecilnya minat pengrajin generasi muda, lemahnya upaya pelestarian dan pengembangan, serta lesunya minat pembeli. Apakah akan mampu para pengrajin batik tulis mempertahankan produksinya terus-menerus tanpa diimbangi adanya permintaan pasar yang bergairah? Mungkinkah budaya batik tulis yang adiluhung akan lenyap begitu saja di nusantara, beralih menjadi budaya yang yang semarak di negeri seberang?
Bukankah ragam budaya di Indonesia yang melatar-belakangi sejarahnya masih mampu menangkap dengan baik pandangan pesimis tentang keampuhan budaya yang beraneka-ragam di tanah air? Persoalannya memang terkait erat dengan upaya pelestarian kerajinan batik tulis masing-masing daerah yang tetap mengacu makna simbolisme. Betapa pentingnya, upaya melestarikan budaya lokal sebagai langkah kemajuan dengan kebudayaan yang lengkap berlatar-belakang sejarah dan keadaan geografisnya sebagai ‘identitas daerah’.
Apabila ada nilai tradisional yang baik, walaupun ada sementara yang menganggap kuno, tidak seyogyanya ditinggalkan serta dilupakan hanya untuk suatu kemajuan. Justru, nilai-nilai tersebut kelak dapat memperkuat kemajuan bila dipelihara dan dikembangkan. Batik tulis diharapkan semakin berkembang, kelestariannya tetap terjaga, juga dapat memperkaya serta mempengaruhi karya budaya ini ke alam modern. Untuk itu, semangat melestarikan batik tulis Indonesia perlu segera dipatenkan sebagai perlindungan kekayaan budaya yang adiluhung, sebelum negara lain mengambil alih pengakuan atau kepemilikannya.
Popularitas batik tulis saat ini masih kalah laku jual dari jenis batik cetak. Kenapa kita harus berani mengatakan seni batik tulis tetap mampu menjadi budaya yang adiluhung?  Bukankah budaya batik tulis kita akan semakin hilang dan pudar, apabila tidak berupaya dilestarikan dan dikemas untuk lebih laku jual? Upaya pelestariannya, dilakukan dengan tetap mempertahankan motif hias batik tulis yang sudah ada dari dahulu hingga sekarang dan diwariskan secara turun-temurun. Pola motif hias batik tulis yang ada tidak mungkin berubah, karena cara membuat pola motif  hias itu hanya dilakukan oleh orang tertentu, karena tidak setiap pembatik dapat membuat motif sendiri. Pengrajin batik tulis biasanya hanya melaksanakan pola motif hias yang telah ditentukan.
Lebih menarik lagi, kerajinan batik tulis merupakan suatu pekerjaan yang biasanya dapat bersifat kolektif, dikerjakan secara bergotong-royong dengan tindakan saling mengisi. Agar aset budaya batik tulis tetap bertahan dengan baik, perlu kiranya selalu ada perhatian serius dari berbagai pihak untuk mau bergandeng-tangan, sehingga tetap terjaga keberadaannya.

3.  Budaya Tahan Uji
Seharusnya kita tak perlu khawatir dan takut, apabila batik tulis kita ditiru atau diproduksi oleh negara lain. Melukis di atas kain, dapat dilakukan oleh siapa saja di penjuru dunia, di negara mana saja. Sudah dapat dipastikan, hasil karya batik akan mempunyai sentuhan seni, motif dan ragam hias yang berbeda. Teknik pembuatan batik tulis dan teknik pewarnaannya tentu tidak sama di setiap negara. Bukankah budaya kita terkenal “kuat” serta “tahan uji” dan tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun? Bukankah budaya kita merupakan budaya yang besar, adiluhung, berbadan samudra yang tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh budaya lain? Budaya batik tulis yang telah mengakar pada kehidupan sampai pelosok perdesaan, takkan mudah lapuk oleh hujan, dan tak lekang oleh jaman.
Bukankah kita justru bangga, bila hasil karya budaya batik tulis kita diperagakan di negara lain yang sebenarnya merupakan promosi kekayaan budaya asli dari bumi persada Indonesia? Apabila kita merasa takut kehilangan sosok budaya batik tulis, seharusnya kita berlomba melakukan tindakan untuk saling memperkuat dan mempertahankan khasanah dan ragam budaya yang telah kita miliki. Perlunya alih generasi pengrajin batik tulis pada generasi penerus bangsa masih perlu semakin digalakkan dan di tumbuh-kembangkan agar kembali kukuh, kuat bercokol sebagai kekuatan budaya bangsa yang mengakar dan besar.
Berbagai cara dicoba dan ditempuh untuk mempertahankan keberadaan aset budaya batik tulis yang adiluhung.. Upaya menghidupkan kembali kawasan pengrajin batik tulis yang  terpuruk, lesu pembelinya, dapat mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi. Perbaikan fisik sebenarnya merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi pembatik yang berjangka panjang. Perbaikan fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik sarana dan prasarana kelompok batik, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan. Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuk suatu mekanisme perawatan dan kontrol yang ‘langgeng’ terhadap keberadaan kelompok pembatik.
Kelihatannya, potensi  kekayaan kawasan para pengrajin batik yang ada belum terjual optimal. Apabila kita perhatikan secara seksama, potensi kerajinan batik tulis yang ada masih “dijual” dalam format dan kemasan apa adanya. Penjualan kekayaan budaya batik tulis tidak dilakukan secara terstruktur, tetapi secara terlepas-lepas. Kemasan eko wisata semacam ini, dapat dikembangkan di daerah mana saja, menawarkan obyek kerajinan batik tulis dan panorama alam.
Selain wisata alam, keberadaan wisata batik tulis di suatu kawasan, akan dapat diketahui apabila ada kebiasaan pengrajinnya yang selalu berkumpul, mengelompok, demi serangkaian proses pembuatan yang tidak efisien bila dilakukan sendirian. Upaya pelestarian batik tulis yang dikembangkan, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melaksanakan pembangunan oleh rakyat dan bersama rakyat. ”Pariwisata yang dikembangkan dengan dasar pro-rakyat miskin dapat memberi sumbangan yang berarti pada usaha penanggulangan kemiskinan” (Cezayerli, 2003).
Sudah menjadi kesepakatan warga, bila pengembangan industri rumah tangga batik tulis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Wisatawan dapat diajak ke rumah-rumah pengrajin, melihat, membeli dan belajar membatik, dengan harapan dapat mensejahterakan penduduk. Kemauan keras masyarakat bersama pamong cukup mampu menggerakkan eko wisata batik tulis. Eko wisata batik tulis yang dimaksud, didasarkan atas peran serta masyarakat dengan masyarakat setempat sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan, sehingga dapat membantu menanggulangi kemiskinan pada tingkat lokal.
Memang, tidaklah mudah menyatukan kemauan pengrajin batik tulis yang memiliki keinginan dan pendapat berbeda-beda. Perlu dicatat, kehadiran sosok penggerak yang gesit dalam memerankan koordinasi dan hubungan kemitraan, seyogyanya selalu memperhatikan pencagaran alam dan aset budaya. Untuk mengatasi masalah pelestarian batik tulis, perlu menyadari adanya fungsi kesadaran rasa memiliki budaya bangsa yang besar dan mengambil langkah untuk memaksimalkan fungsi ini. Kita perlu yakin, bila budaya batik tulis sebagai sesuatu yang dinamik, senantiasa berubah-ubah melalui proses penyerapan dan penyesuaian secara terus-menerus.
Peran perempuan dalam pelestarian batik tulis telah diawali dengan merubah perilaku ramah lingkungan dalam pengurangan pemakaian zat kimia, mendaur ulang lilin batik, pewarnaan alami, pengolahan limbah, semuanya ditempuh tidak lain untuk memenuhi syarat layak ekspor. Kelompok pengrajin batik tulis kita telah melakukan pembangunan berpihak perempuan. Keterlibatan kelompok ini telah mengajak para suami dalam perencanaan dan perbaikan sarana prasarana serta pengelolaan dan pemasaran.
Dalam melaksanakan penanggulangan kemiskinan, warga juga tidak banyak menerima usulan kegiatan yang hanya berdasarkan rendahnya biaya modal awal, tanpa mempertimbangkan faktor penting lainnya yang berhubungan dengan keberlanjutan. Kelihatannya kegiatan pelestarian batik tulis yang dilakukan menjadi kegiatan yang utama, tetapi sebenarnya juga menyajikan lapangan pekerjaan baru yang menarik bagi penduduk setempat. Kegiatan pelestarian batik tulis ini dapat mengurangi perpindahan penduduk perdesaan  ke kota, sehingga laju migrasi dari desa ke kota dapat dikurangi.
Gabungan paguyuban pembatik yang dapat disatukan dalam satu kesatuan  pengelolaan, demi pertumbuhan dan persaingan sehat,  dapat menjalin permintaan pasar lebih luas, sehingga terjadi sinergi antara produsen dan konsumen. Kekayaan para pembatik yang potensial dilimpahkan kepada satuan pengelola, alasannya agar setiap penjualan dapat menghasilkan sumbangan pendapatan untuk memperbaiki pelayanan. Kunjungan wisata batik tulis, dapat dibuat perjalanan jelajah wisata guna menikmati hasil karya batik melalui ruang pamer bersama atau disalurkan menyebar ke rumah-rumah pengrajin. Kesiapan budaya lokal untuk menerima budaya asing menjadi pusat perhatian, demikian juga perlu menjaga kualitas pelayanan dan penggunaan bahasa pengantar yang baik.
Tulisan esai ini tidak bermaksud untuk memberikan solusi akhir. Masalahnya pelestarian budaya batik harus menerus dan berkelanjutan. Tujuan tulisan ini, selain ikut-serta lomba penulisan esai bagi remaja tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta,.juga bertujuan untuk pembelajaran bagi penulis. Ternyata ada dua fungsi dalam membangun hubungan pelestarian dan kesadaran. Pengalaman menunjukkan bahwa fungsi kedua, yaitu fungsi kesadaran rasa memiliki budaya bangsa seni batik tulis tidak dapat diabaikan. Kita harus menyadari adanya fungsi kedua ini, mendiskusikannya dan berusaha untuk melestarikan kekayaan budaya batik tulis yang adiluhung.


Daftar Pustaka:
Cezayerli,G. 2003. Tourism more than sight-seeing. ADB Review, July-August 2003.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 3. 1989. PT.Cipta Adi Perkasa, Jakarta.
Haryono Suyono, Edi Sedyawati dan S. Budhisantoso, 1997. Introduction. Dalam: Tourism and heritage management, Wiendu Nuryati, ed. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
---. 1996 Katalog Batik Khas Yogyakarta, Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (P.I.K.M) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta





 --- Tulisan ini dibuat untuk dapat ikutserta dalam Lomba Penulisan Esai bagi Remaja se-Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Alhamdulillah mendapat peringkat kedua 

Semakin Miskin Petani Menanam Padi 'Gabug'


                                    SEMAKIN MISKIN PETANI MENANAM PADI ’GABUG’
Oleh: Winner Indi Manega



Tatkala kita beranjak menuju daerah persawahan yang semula subur, makmur ‘loh jinawi’, kini pupus sudah harapan untuk dapat menanam padi berkualitas unggul. Bau asap gerabah yang dipergunakan untuk membakar bata merah menyengat sepanjang hari, seolah menempel baju, kemanapun kita pergi terasa bau asap akan tetap mengejar di seputar Dusun Cepoko Raya, Sitimulyo, Bantul.
Hidup sehari-hari buruh tani morat-marit dan kocar-kacir, beban hidupnya makin berat, hak-haknya terampas bahkan dikatakan tidak ada sama sekali! Kenapa petani tidak juga menggarap lahan pertanian secara benar? Petani dicengkeram kapitalisme yang menghisap habis seluruh kekayaan dan kekuatannya. Makin hari makin berat beban hidupnya. Mereka tak kuasa memenuhi kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, sementara penghasilan tak menentu dan jauh dari mencukupi.
Kegiatan pembangunan penyebab peningkatan penyalahgunaan sumber daya alam dan mineral. Kebutuhan bahan galian bagi pembangunan menjadi sangat besar, baik sebagai bahan penunjang konstruksi bangunan maupun bahan kebutuhan industri. Masyarakat sekitar apatis menyaksikan pengerukan tanah liat yang ada di lahan pertanian, konon untuk kemajuan perindustrian dan perekonomian.


Tantangan Yang Kita Hadapi
Alih fungsi lahan pertanian ke pertambangan dilakukan tanpa memikirkan apa saja yang akan terjadi di kemudian hari. Eksploitasi sumber daya alam berlebihan, jelas merusak ekosistem. Lahan pertanian yang semula subur sebagai lumbung padi, dari hari ke hari semakin terkuras dan tergadaikan oleh tuan tanah. Simak saja, petani kehilangan sawah dan buruh tani kehilangan pekerjaan. Tuan tanah semakin kaya, dengan menjal tanah liat permeter kubiknya untuk bahan baku bata merah, tanpa takut kehilangan kepemilikan sertifikat tanah. Tidak semua ‘juragan’ bata merah mengantongi ijin pertambangan. Tak kunjung juga ada wasit yang berani berteriak dan bersikap tegas!  Bahkan, pemerintah tak segera menindak, apalagi memberi solusi. 
Manakala, tanah liat subur sawah dikeruk terus-menerus hingga lubang kubangan menembus perut bumi. Akibat yang ditanggung, terjadi perubahan permukaan air tanah dan banjir serta longsor. Anomali alam seperti itu jelas akibat perilaku manusia yang cenderung serakah dan boros, baik dalam bentuk kerakusan mengeksploitasi alam maupun gaya hidup dan pola konsumsi yang tidak memperhatikan ekologi. Tanpa disadari, masyarakat yang bermukim di sekitar pertambangan sekaligus produsen bata merah, turut mengalami kerugian pada sisi perekonomian.
Seolah, kita merasa sudah mempunyai hak tinggal di bumi, sehingga dengan seenaknya memakai tanah, air dan bebatuan selama ini. Tapi gambaran seperti itu akan berubah secara drastis karena muncul alasan yang sangat komplek, krisis air, banjir, longsor, dan aliran sungai berpolusi. Kini sangat terasa gejala alam yang tidak seimbang. Ekses pemanasan global berdampak langsung pada perubahan iklim yang berpengaruh pada masa tanam, keselamatan dan pertumbuhan umat manusia. Adanya isu globalisasi dan keprihatinan kerusakan lingkungan yang telah merambah dunia, menyebabkan kita tidak dapat lagi tinggal diam mengabaikan lingkungan hidup.
Cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian mempengaruhi kinerja pertanian. Secara langsung menurunkan luas lahan untuk kegiatan produksi pangan sehingga berekses terhadap penyediaan pangan. Di sisi lain, kehilangan lahan pertanian cenderung diikuti dengan hilangnya mata pencaharian petani, yang berujung munculnya masalah perekonomian dan sosial semakin meluas. Bila fenomena ini tidak dapat dicegah, upaya mewujudkan ketahanan pangan akan menjadi mimpi dan sekedar retorika belaka.
            Petani semakin miskin, menunjukkan dilema yang kita hadapi. Untuk memperbaiki lahan pertanian yang rusak perlu dibangun hubungan antara petani dan pengusaha bata merah. Hubungan itu bersifat fisik maupun non-fisik. Tetapi kita akan menyadari apabila hubungan itu mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi pembangunan. Ini kita ketahui dan kita tekankan! Kedua, ialah fungsi eksploitasi. Ini tidak kita ketahui dan tidak kita sadari! Akibatnya fungsi ini kita abaikan. Akibat selanjutnya ialah fungsi ini tidak terkendalikan. Sesungguhnya, kita tidak dapat lagi mengabaikan lingkungan hidup. Kita harus bersikap ramah lingkungan. Barangsiapa berlaku anti lingkungan hidup akan harus membayar mahal!
Perusakan lahan pertanian yang subur, jelas bertentangan dengan pembangunan berkelanjutan yang menganjurkan usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (WCED, 1987). Sebenarnya, bekas tanah galian tersebut masih bisa digunakan sebagai tanah pertanian, dengan catatan harus melalui proses pemulihan kesuburan tanah. Akan tetapi, pemulihan ini akan membutuhkan waktu yang lama. Apabila lahan difungsikan kembali menjadi lahan pertanian sebelum dilakukan pemulihan tanah, terjadi beberapa kemungkinan. Salah satunya yaitu jeleknya kualitas tanaman yang dihasilkan.
Lahan yang rusak nekat ditanami padi, butir padi yang dihasilkan menjadi kurus, tidak berisi, dan tidak enak atau sering disebut dengan padi ‘gabug’. Turunnya kualitas produksi padi pada lahan tersebut terjadi karena hilangnya lapisan olah tanah. Hilangnya unsur yang diperlukan tanaman untuk memasak makanannya, membuat tanaman kesulitan tumbuh bahkan tak bisa menyimpan sisa hasil fotosintesis.
Adalah realita, kedalaman kubangan satu sampai dua meter masih ditanami padi dengan upaya pemupukan organik dan kimia, bahkan disemprot pupuk daun yang mahal tak akan sesuai dengan hasil panen. Kubangan lain dibuat kolam ikan atau dijual untuk perumahan. Kedalam kubangan tiga sampai delapan meter dibiarkan menganga dan digali terus ibarat membuat tebing dan jurang yang curam.
Masyarakat sekitar terlihat apatis seolah tak berdaya, apalagi menyikapi atau bertindak. Masyarakat perlu mengembangkan kemampuan untuk ikut melakukan pengawasan secara konstruktif. Sikap konstruktif ini dapat lebih mudah berkembang jika masyarakat menjadi bagian integral ekosistem. Sepatutnya, masyarakat mendapat bagian wajar dan adil dari manfaat industri bata merah dan bukan hanya menerima resiko saja. Apabila pembagian manfaat dan resikonya adil, masyarakat akan melakukan pilihan menjaga kelangsungan hidup industri bata merah atau mereklamasi lahan yang rusak menjadi lahan pertanian.
Kegiatan reklamasi lahan setelah kegiatan tambang dan industri diarahkan pada lahan pertanian pasca penambangan. Mestinya segera dilakukan kegiatan reklamasi lahan, sebagai upaya pemanfaatan, perbaikan dan peningkatan kualitas kesuburan lahan pertanian melalui penerapan teknologi dan pemberdayaan masyarakat tani (Pedoman Teknis Reklamasi Lahan, 2009). Kesepakatan rembug warga dan pemerintah menjadi titik awal tindakan reklamasi lahan. Pelaksanaannya diarahkan menggunakan kombinasi urugan sampah, diselingi urugan lapisan tanah secara bertahap untuk mengurangi bau dan sebaran kuman penyakit.
Peran serta masyarakat dalam pengawasan, terutama cendekiawan dan LSM, dapat berjalan lebih baik bila tersedia data pemantauan lingkungan hidup yang dapat diakses oleh publik. Harapannya, muncul kritik yang dapat berpindah dari opini yang tidak didasarkan pada data ilmiah ke diskusi ilmiah. Permasalahan ini dapat diatasi bila desa mempunyai kesempatan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Segenap pelaku pembangunan di desa tak hanya menerima secara pasif tindakan tidak ramah lingkungan, melainkan diberi kesempatan ikut menentukan sistem pengelolaan lingkungannya. Perlu ada demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Tetapi ini lebih mudah dikatakan dari pada dilaksanakan. Sebab demokrasi dalam pengambilan keputusan memerlukan orang yang mengetahui tentang permasalahannya. Walaupun sulit, namun bukanlah suatu kemustahilan.
Terpenting, pemerintah mengambil langkah preventif dengan melakukan kajian lingkungan hidup sebelum diambil keputusan untuk melayani keinginan masyarakat. Tujuannya untuk menghindari terjadinya eksploatasi lahan pertanian yang subur berikutnya untuk material bahan bangunan. Sebaiknya material bata merah bukan terbuat dari tanah liat subur. Ketersedian jumlah cadangan, kualitas serta nilai kegunaan ada beberapa jenis bahan galian yang mempunyai prospek untuk dikembangkan dalam upaya mendukung industri konstruksi. Pengoptimalan pemanfaatan bahan galian menjadi berkualitas, bernilai ekonomis tinggi dan strategis untuk dipasarkan dengan tetap melakukan penambangan yang berwawasan kemasyarakatan dan ramah lingkungan.
Gunakan bahan galian dari tanah tidak subur yang memang dikembangkan untuk andalan pertambangan, seperti breksi batu apung, bentonit, tras, andesit, batu serut, zeolit, dan batu kapur! Sebaran perbukitan tandus breksi batu apung cukup luas, tak hanya digunakan bahan pondasi dan dinding rumah, tapi dapat dibuat patung, meja, kursi dan roster. Kini, inovasi teknologi breksi batu apung telah sampai pada produksi genteng beton dan eternit berkualitas. Perkembangan ekologi industri malahan melangkah lebih maju, yaitu berusaha mengguna-ulang sebanyak-banyaknya bahan bangunan yang menggunakan komoditi yang telah habis masa gunanya.  
Berperilaku hidup ramah lingkungan saja tidaklah cukup, apabila tidak disertai dengan penegakan hukum dengan sanksi yang tegas dan jelas siapa yang menjadi wasit lingkungan? Generasi penerus seyogyanya pewaris kekayaan bumi pertiwi dan bertindak sebagai wasit lingkungan. Mereka harus tegas, lugas dan dapat berperilaku bijak mengelola serta memanfaatkan kekayaan sumber daya yang telah disediakan oleh alam.
Dari pemulihan dan perlindungan ini diharapkan dapat tercapai sasaran manfaat bagi masyarakat. Lain perkataan, sasaran utamanya pemulihan ekosistem bekas tambang bata merah dan manfaat yang didapatkan adalah akibat pulihnya ekosistem lahan pertanian. Tujuan ini sangat mulia dan berbeda dari pendekatan antroposentris yang menempatkan manusia pada pusatnya (Soemarwoto, 2001). Namun dari segi praktis di sini pula letak kelemahannya, yaitu kemungkinan kecil akan diimplementasikan. Pengalaman menunjukkan, bahwa manusia bersifat antroposentris. Ini dapat kita lihat dari perkembangan koordinasi yang sangat lemah.
Demi kelestarian lingkungan hidup di kawasan pertanian, sepatutnya perlu terus ditingkatkan penanganan lahan yang menurun kualitasnya dengan inovasi teknologi reklamasi, pengolahan tanah dan teknik pemupukan, sehingga dapat menambah luas areal tanam dan meningkatkan produktivitas serta pendapatan petani. Pentingnya perilaku ramah lingkungan untuk menyadarkan adanya dua fungsi dalam membangun hubungan sikap dan perilaku. Pengalaman menunjukkan bahwa fungsi kedua, yaitu fungsi eksplotasi tidak dapat diabaikan. Kita harus menyadari adanya fungsi kedua ini, mendiskusikannya dan berusaha untuk mengendalikannya.


Daftar Pustaka:
Pedoman Teknis Reklamasi Lahan 2009,  Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Direktorat Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian, Jakarta, Januari 2009
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan lingkungan Hidup. Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
World Commission on Environment and Development, 1987 Our common future, Oxford University Press, Oxford.





---Tulisan ini dibuat untuk dapat diikut-sertakan dalam lomba Essai Ilmiah Nasional 2010 yang diselenggarakan Panitia FORCES Fair UKM Forum for Scientific Institut Pertanian Bogor  bertema kegiatan “Menuju Indonesia Lebih Baik Dengan Teknologi Pertanian Berbasis Lingkungan” dan sub tema lomba “Perilaku Hidup Ramah Lingkungan”. Alhamdulillah masuk tiga puluh besar Cek http://forces.lk.ipb.ac.id/2010/11/19/peserta-lein-2010/

Pastikan, Lalu Lintas Kota Yogyakarta Tidak Macet


PASTIKAN, LALU LINTAS KOTA YOGYAKARTA TIDAK MACET
Oleh: Winner Indi Manega



Isu kemacetan merebak di Kota Yogyakarta sejak antrian panjang kendaraan di pusat kota sering terjadi pada jam sibuk dan di hari libur sekolah. Pada dekade kini dan mendatang, kecenderungan orang serba cepat, sehingga berlalu-lintas di jalan-pun harus ngebut dan tak mempedulikan lingkungan. Dipicu target penjualan motor dan mobil, tak lagi seimbang antara keberadaan kendaraan, tambahan ruas jalan dan pencemaran udara. Prediksi di kemudian hari, Kota Pelajar semakin macet lalu-lintasnya, jika kita semua bersikap apatis, netral tak segera bertindak. Meskipun rintisan pengaturan dan pertambahan ruas jalan telah dilakukan, tetap saja kota yang sempit akan semakin macet.
Saat berangkat maupun pulang sekolah, sering terhambat kemacetan di perempatan, terlebih di depan pasar tumpah. Lagi pula, perilaku pengendara motor dan mobil semakin tak menghormati hak jalan pengguna jalan lain. Tak pelak lagi, polisi menjadi repot mengatur lalu-lintas meskipun dibantu satpam sekolahan. Tak ayal lagi, bermunculan surat tilang, bahkan sering kecelakaan lalu-lintas menimpa pelajar. Hak pejalan kaki di trotoar direnggut untuk tempat berjualan dan parkir yang kotor serta “semrawut”. Pasar tumpah-ruah di trotoar kian merambah ke badan jalan untuk berjualan, makin memperparah kemacetan. Relokasi pedagang pasar ke pasar, fasilitasi pedagang kaki lima di tempat semestinya, penyaluran bakat kaum papa, pengemis, pengamen dan pengasong dari perempatan jalan, membuat sangat berarti bagi keteraturan eko-sistem kota, mengurangi risiko kecelakaan dan kemacetan.
Anak, pewaris kemacetan di masa depan, kelak memangku kebijakan transportasi ditentukan pada usia dini. Pendidikan etika berlalu-lintas dibiasakan sejak kecil, dan bukan mengenal saat mencari SIM. Pelajar yang terkena imbas kemacetan, strategis untuk mengetahui etika berlalu-lintas, tak sekedar mengoreksi penyimpangan dari perilaku pengemudi, tapi paham resiko pelanggaran. Pengurangan kemacetan menuntut pengguna jalan sadar beretika lalu-lintas, penegakan aturan, ketegasan sanksi dan bukan dicari atau mencari-cari kesalahan pengemudi.
Kita, generasi penerus, tak ingin membiarkan bertambahnya kendaraan di masa mendatang, tanpa ada kendali. Tengok saja…… sumber utama pencemaran adalah alat transportasi. Walaupun pelebaran jalan dan jalan baru dapat mengurangi kemacetan lalu-lintas, usaha ini bersifat memacu pertumbuhan jumlah kendaraan. Saatnya perlu kearifan kebijakan transportasi terpadu, mencakup pengurangan jumlah kendaraan dan pemanfaatan jenis transportasi tidak bermotor atau berbahan-bakar ramah lingkungan. Optimal atau tidaknya pelayanan transportasi tergantung ketersediaan sarana dan prasarana. Kedua aspek tersebut harus seimbang supaya tak menimbulkan permasalahan dalam pergerakannya.
Semakin majunya peradaban di Kota Budaya, tak bisa terus-menerus bertahan tanpa perubahan! Kemajuan, tak seharusnya mengubah masyarakat berpikir mundur. Kemajuan adalah antisipasi dari datangnya perubahan dengan tanpa meninggalkan identitas kota. Kepadatan dan kemacetan lalu-lintas di pusat perkotaan tak dapat dipecah, tapi diatur, ditata ulang, terpadu dan lestari. Tak dapat dipungkiri, daya tarik ‘ruh’ Kota Yogyakarta memiliki beragam peninggalan sejarah dan purbakala bermakna mendalam. Ibarat ada gula ada semut, pasti bukan dilakukan pendekatan ekonomi yang semakin memacetkan pusat kota, tapi lebih berpendekatan kultur dan spiritual. Keseimbangan kota dan desa, berguna untuk mengurangi arus urbanisasi. Keseimbangan bukan membuat kedudukan desa sama dengan kota, melainkan untuk mengelola kesenjangan antara kota dan desa pada tingkat yang tidak menimbulkan kemacetan kelak!
Beberapa langkah mengantisipasi kemacetan lalu-lintas, dirumuskan secara seksama, terencana, menyeluruh dan terpadu. Antisipasi, diprioritaskan kawasan berintensitas kegiatan tinggi. Terutama pada jam puncak keramaian, diseimbangkan antara volume lalu-lintas dengan kapasitas jalan. Secara umum, upaya mengatasi kemacetan mencakup dua sisi, yakni keterpaduan kebijakan dan kesadaran pengguna jalan. Dari segi keterpaduan kebijakan dapat ditempuh antara lain kurangi percampuran moda saat tertentu hari libur sekolah dan hari besar.
Peningkatan daya dukung jaringan jalan dengan mengoptimalkan angkutan yang efisien dalam penggunaan ruang jalan menurut Iswanto Hadi (2002) dilakukan dengan pengembangan jaringan pelayanan angkutan umum dan peningkatan kualitas kendaraan. Jadikan pilihan penggunaan angkutan umum masal dengan subsidi, diikuti keterpaduan terminal dan kemudahan berganti jenis angkutan. Ekses dari mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, kebutuhan memperlebar jalan dan membuat jalan baru menjadi berkurang.
Pelajar yang berwisata senang berjalan kaki, tatkala menikmati mengagumi heritage dan belanja souvenir. Keteduhan pedestrian dan angkutan wisata kecil khas tradisional menjadi kenangan berarti bagi sebuah kunjungan. Bus pariwisata tak perlu masuk pusat kota. Bila hal itu dilakukan dapat meningkatkan kunjungan wisata, kepadatan lalu-lintas dan rosot karbon berkurang, pendapatan merata, kota lebih indah dan nyaman. Tak kalah penting, peningkatan kapasitas jalan, keleluasaan persimpangan dan pengawasan berteknologi. Penegakan aturan diimbangi kesadaran dan kerelaan sudah tak dapat ditunda. Pastikan, lalu-lintas Kota Yogyakarta tidak macet sebagai ajang promosi wisata!
Akankah, kita rindu kota bersih dan bebas polusi? Mulailah dari buah bergantung rendah yang mudah dipetik, mulai dari diri sendiri untuk menciptakan kota bebas polusi. Mulai, utamakan pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor. Berjalan kaki dan bersepeda “onthel” bukan barang tabu dan gengsi. Kebiasaan bersepeda, tak membuat generasi penerus kita mempunyai kemampuan berpikir yang lebih rendah daripada kita. Kebiasaan mengayuh sepeda, berekses menurunnya pencemaran, kesehatan meningkat, biaya kesehatan turun dan kehilangan hari kerja karena sakit turun.

Tulisan ini tidak bermaksud memberikan solusi akhir. Masalahnya, keyakinan lalu-lintas Kota Yogyakarta tidak macet harus terus-menerus didiskusikan, ada perbaikan dan berkelanjutan. Ternyata ada dua fungsi dalam mengantisipasi kemacetan, yakni keterpaduan kebijakan dan kesadaran pengguna jalan. Pengalaman menunjukkan fungsi kedua, yaitu fungsi kesadaran beretika di jalan tidak dapat diabaikan. Kita harus menyadari fungsi kedua ini, mendiskusikannya dan berusaha untuk berkomitmen bersama berdisiplin berlalu-lintas.



Daftar Pustaka: 
Iswanto Hadi, 2002. “Faktor2 Pendorong Terjadinya Kemacetan Lalu-lintas di Jl.Arteri Primer Kawasan Ungaran Kab. Semarang”, TA.Jur. Perenc. Wilayah & Kota FT UNDIP, Semarang.












---Tulisan ini dibuat untuk dapat diikut-sertakan dalam lomba Esai Pelajar Hari Pendidikan Nasional (HPN) 2011 yang diselenggarakan Redaksi SKH Kedaulatan Rakyat  bertema kegiatan “Antisipasi Kemacetan Lalu-lintas Yogyakarta”.